Daftar isi

Rabu, 11 Januari 2012

Akhirnya Kunikmati Pemerkosaan Itu – 2

Dari bagian 1


Tiga bulan sejak kerap melakukan hubungan gelap dengan Maman, tukang kebunku, aku merasa irama hidupku menjadi normal. Walau aku sadar telah menodai kepercayaan Mas Rudi suamiku, tapi aku juga kan wanita normal yang butuh kepuasan yang tak mungkin kudapat dari Mas Rudi lagi.

Sore itu hujan turun di kota M, sementara aku, Ijah, dan Jaka masih melayani pelanggan kios serba ada milikku. Mas Rudi belum pulang, biasanya pulang larut malam, Minah sibuk masak di dapur, dan Maman terakhir tadi kulihat membersihkan taman dibelakang rumahku.

“Aduh… Jah, lanjutin dulu ya kerjaannya, saya mau lihat Minah di dapur. Tadi lupa bapak minta buatin telur asin,” aku mendadak ingat Mas Rudi memesan telur asin kesukaannya untuk makan malam. Kutinggalkan Ijah dan Jaka melayani pelanggan kiosku, dan aku berlari kecil melalui pintu pembatas kios-rumah menuju dapurku.

“Minn… Minaahh…,” sampai di dapur Minah yang kucari sudah tak ada, hanya ada sayur lodeh yang mendidih diatas kompor nyala.
“Astaga Minah kok ceroboh sih…, kemana lagi si Minah uhh,” segera kuangkat panci berisi lodeh, kompor kupadamkan dan selanjutnya mencari Minah.
Tadinya kupikir Minah lagi pipis atau buang air besar di WC belakang, jadi aku melangkah kesana. Tapi belum sampai ke WC pembantu itu, aku dengar suara rintihan khas orang sedang bersenggama. Ups…, langkah kuhentikan di tepi letukan tembok, kusaksikan pemandangan yang membuat darahku berdesir. Maman sedang asyik mengenjot pantatnya dengan penis besar yang tertancap di vagina Minah, Maman berdiri, sedangkan Minah nungging berpegang pada pagar kayu di taman belakang rumahku. Mereka tampak buru-buru dan tidak telanjang, daster Minah diangkat naik dan cdnya diturunkan sebatas lutut, dan celana Maman melorot sebatas lutut pula, tapi baju mereka tetap terpasang. Meski hujan cukup deras mereka tidak basah karena di taman belakang rumahku Mas Rudi sengaja membuat tempat duduk teduh untuk menghabiskan jika ada waktu santai kami.

“Ohh kaang… enak… aahhsst,” Minah menjerit tertahan, orgasme sampai pinggulnya bergetar hebat.
“Ouhh iyaahh Minnhhh… ssiip,” tubuh Maman pun mengejang menyusul orgasme Minah, tentu sperma Maman banyak menyiram vagina Minah, pikirku. Sialan, rupanya mereka curi kesempatan karena hujan deras. Ehm, mungkin enak juga ya bersenggama saat hujan deras. Sebelum mereka merapikan pakaiannya, aku langsung kembali ke dapur dan duduk di kursi dapur.

“Ehh, Ibu kok disini ?, ehh anu Bu…, saya habis pipis…, tapi sayurnya nggak hanguskan Bu ?,” Minah gugup melihatku ada didapur.
“Iya… iya, tapi lain kali jangan ceroboh dong, untung saya ke dapur. Kalau nggak kan bisa kebakaran rumah ini,” kataku pada Minah, Minah manggut-manggut.

Malamnya, hujan masih lebat. Tiba tiba telepon berdering.
“Halo sayang, maaf ya… aku nggak bisa pulang. Nginep di kantor ada kerjaan tambahan yang harus kelar malam ini,” begitu inti bicara Mas Rudi saat telepon kuangkat. Aneh, harusnya sebagai istri aku kecewa suami nggak pulang. Tapi kok aku malah senang ya ? Malah pikiranku ingin segera menemui Maman dan melampiaskan kerinduanku pada penisnya yang hitam besar itu.

Jam 10 malam, aku sengaja mengenakan daster tipis tanpa CD dan bra, menikmati acara hiburan TV di ruang tengah rumahku, sejuk segar rasanya. Hujan masih lebat.
“Permisi Bu, mau ikutan nonton,” suara Jaka membuatku sedikit terkejut.
“Eh… kamu Jak, si Ijah mana ?,” aku duduk diatas sofa, Jaka ambil duduk di lantai semeter di depanku.
“Anu Bu, sudah tidur, kecapean mungkin. Semua sudah tidur, saya aja belum ngantuk Bu”
“Wah…, padahal saya mau dipijitin, cape juga nih, pegel,” aku memijit-mijit sendiri kakiku, tubuhku merunduk. Jaka memperhatikanku tak berkedip, dasterku terkuak dalam posisi itu, buah dadaku pasti terlihat Jaka.
“Kamu bisa mijitin Jak ?,” pertanyaanku membuat Jaka kaget, tapi tetap menatapku.
“Ah Ibu, saya nggak berani Bu, nanti dikira usil,” Jaka malu, pemuda itu memang selalu pemalu, tapi aku tahu selama ini dia sering curi pandang menikmati indah tubuhku.
“Kok gitu ? kalau bisa tolong saya dipijitin ya Jak. Disini aja disofa biar kamu nggak dibilang usil,” aku rebah dengan posisi menelungkup. Jaka ragu-ragu tapi kemudian mendekatiku.

Sofa ruang tengah agak lebar ukurannya, jadi Jaka kusuruh duduk di tepi sofa dan memijitku.
“Permisi loh Bu,” Jaka mulai memijiti betisku, tangannya dingin membuat pijitannya terasa asyik di betisku.
“Hmmh, enak juga tanganmu ya Jak, belajar mijit dimana sih,”
“Nggak kok Bu, cuma biasa mijitin Kang Maman aja kalau dia cape,”
“Agak naik dong Jak, pahanya agak pegel,” perintahku disambut Jaka semangat. Paha dan betisku dipijit naik turun, kanan kiri.

Hujan semakin lebat diluar, pijitan Jaka mulai asyik kurasakan. Kadang tangannya terasa mengelus dan membelai betis dan pahaku, bukan lagi memijit. Tapi kubiarkan saja aksinya itu, kunikmati saja tangan nakalnya itu.
“Badannya mau dipijit juga Bu ?,”
“Iya dong Jak, sekarang punggungku pijitin gih,”
Jaka memijit punggungku masih terhalang daster, tapi Jaka tahu, aku tak pakai bra karena tali bra tak ada dipunggungku.
“Sebentar Jak, biar gampang kamu mijit,” aku bangun dan menurunkan dasterku sebatas dada, menutupi susuku saja, lalu rebah lagi tengkurap. Kini tangan Jaka memijit punggungku dan menyentuh langsung kulit mulusku, kadang tangannya mengambil kesempatan ke sisi tubuh menyentuh samping pangkal susuku.
“Ohh disitu Jak, pegel tuh, ouhh asshh… enak Jak,” suaraku sengaja mendesis, nampaknya Jaka sudah dibuai nafsu. Pijitannya sudah berubah elusan dan remasan dipunggungku, kini malah turun ke pinggang, menyentuh pantatku, aku yakin Jaka pun tahu aku tak pakai CD.
“Jak ?,”
“Ehh.. saya Bu,” suara Jaka agak serak menahan nafsunya.
“Pijitin terus sampai saya tidur ya. Kalau saya ketiduran nanti kamu kunci pintu belakang kalau sudah nonton TV ya, biar saya tidur disini,” aku sengaja bicara sambil pejam, Jaka mengiraku sudah ngantuk benar.

Beberapa menit setelah itu aku sengaja tak bersuara lagi dengan mata terpejam seperti tidur. Jaka masih mijitin aku, tapi sekarang sepenuhnya hanya meremas dan meraba-raba tubuhku. Sekejap aku balikkan badan dan masih pura-pura tertidur, posisiku jadi menghadap atas, daster bagian depanku turun sampai separuh susuku nampak jelas. Jaka kaget, kulihat dari sela mata pejamku, ia berhenti mijit tapi tetap duduk di sisi sofa dan memandangi tubuhku. Aku tahu Jaka tersangsang dengan posisi tubuhku yang menantang.

Sebentar saja Jaka mematung, setelah itu kurasakan tangannya mengelus-elus pangkal susuku yang tersibak. Pelan-pelan sekali, dia takut aku bangun tuh. Setelah yakin aku tidur Jaka lebih berani menyibak dasterku lebih terbuka sampai susuku bebas tak terhalang.
“Ohh… cantik sekali kamu Bu…,” Jaka berbisik sendiri sambil mengelus-elus susuku.
“Ahhhss Mas Rud…,” aku pura-pura ngigau.
“Iya sayang… ini Mas Rudi,” Jaka konyol menjawab ngigauku, pasti ia mulai berpikir ini kesempatan emas.

Benar saja dugaanku, setelah igauan itu didengar, Jaka tak ragu lagi melancarkan serangannya. Tangannya yang kasar mulai meremas-remas susuku, bibirnya juga ikut terjun mencium dan menjilati putting susuku.
“Ouuhh Masss…, ngghh… gelii mas aahhff…,” masih pura pura tidur aku merangkul tubuh kurus Jaka, ia semakin semangat menciumi susuku. Kini tangan Jaka sudah merayap ke bawah, pahaku diusap-usapnya.

Vaginaku mulai membasah, sentuhan jemari Jaka sudah berani nakal membelai-belai bibir vaginaku. Udara dingin dan suara hujan membuat nafsuku melambung, Jaka pun kian girang menikmati tubuh mulus majikannya ini. Tiba-tiba Jaka menghentikan aktifitasnya, kulirik dari sela mataku, Jaka mempreteli pakaiannya sendiri sampai bugil. Wah walau bertubuh pendek dan kurus, tapi penis Jaka lumayan juga, lebih panjang dari punya Maman walau pun lebih langsing.

Aku masih pura-pura tidur, Jaka mengangkat dasterku dan bebas melototi vaginaku yang memang tak ber CD. Dielus lagi vaginaku dengan jemarinya, sambil dia naik ke sofa tempatku berbaring.
“Duhhhss, Mass… Rud, cepeetaandong… Annii nggak tahaan… aahhmmmpp,” belum selesai cerecauku, Jaka sudah menyumpal bibirku dengan mulutnya. Disedotnya seluruh bibirku dengan nafsu, dan penisnya yang tegang mulai amblas dalam vaginaku. Bleess… jleeppp…, Jaka mulai menggoyangku dengan sangat nafsunya.
“Eiihh… huusss… eenaakk sekallii Ani vaginamu enaaak…,” Jaka terus menggenjotku.
“Aahhh… ohhh…,” aku mulai merasa nikmat yang sama menjalari tubuhku, pinggulku kubuat seirama kocokan penis Jaka.

Tapi rupanya gerakanku itu salah, karena membuat nafsu Jaka tak terkendali. Baru lima menit gerakan pinggul kulakukan, tubuh Jaka sudah mengejang kaku diatas tubuhku.
“Ahh… uueennaaakkk… sayaaang,” crot… crot… Jaka orgasme karena nafsu yang sangat tinggi akibat goyangan dan suara erotisku. Terang saja aku kecewa, aku belum lagi apa-apa, lantas aku bangkit dan membuka mata melotot.
“Jaka…, apa-apaan kamu ini hah…,” sergahku pura-pura marah. Belum sempat aku lanjutkan kata-kataku, Jaka mengeluarkan sebilah pisau dari bajunya di lantai.
“Jangan berteriak Bu,” pisau tajam itu ditodongka ke arahku, aku takut.
“Sekarang diam, dan Ibu harus nungging… ayo nungging. Disini Bu ceppaaat,” teriak Jaka sambil menunjuk sisi sofa.
Hujan masih lebat, aku terpaksa nungging dengan dua tangan menekan pinggir Sofa, Jaka berdiri tepat dibelakangku.
“Nah…, akan kubuat Ibu lebih enak dari yang tadi. Anggap saja aku suamimu Bu,” Jaka membelai-belai bokongku, lalu jongkok tepat dibelahan bokongku. Tangannya menyibak bongkahan bokongku sehingga vaginaku jelas terlihat olehnya, setelah itu, astaga, Jaka mulai menjilati vaginaku.
“Ahh… sstt Jakkk… aouhhh gelii Jak,” aku tak bisa lagi berpura-pura, jilatan Jaka dalam posisiku nungging begitu terasa nikmat sekali. Mendengar desahku Jaka makin berani, kini pisau ditangannya sudah dilepas dan ia kembali menjilati vitalku itu. Cukup lama Jaka menciumi dan menjilati vaginaku, sampai kurasa sesuatu mulai mengumpul di paha, pantat dan bibir vaginaku itu. Aku hampir orgasme ketika Jaka menghentikan jilatannya.

Tadinya aku mau marah lagi karena orgasmeku batal, tapi setelah jilatan itu lepas, ternyata penis Jaka sudah kembali tegang dan langsung menusuk keliang nikmatku.
“Ahh, enaak ya Buu,” Jaka menggenjot tubuhku dari belakang, maju mundur. Aku terbuai, posisiku hampir kalah, kedutan kecil mulai tercipta di dinding vaginaku. Jaka mempercepat goyangnya, hingga sepuluh menit kemudian aku semakin merasa mau jebol. Posisi nunggingku sudah utuh, tangan tak lagi menyangga tubuh. Kini aku seperti tiarap di Sofa dengan kaki berlutut di lantai, Jaka ikut jongkok, aku mirip betina yang sedang di setubuhi jantannya.

“Ouughhh… Jakk…, akuuu… ammpuun…,” pertahananku jebol, kurasakan semua sendiku ngilu, dan kedutan di dinding vaginaku menjepit-jepit penis Jaka yang masih aktif. Tapi tak lama berselang, Jaka pun sampai puncaknya, dan tegang kaku di atas punggungku.
“Ahhh Nyah… ohhh,” Jaka masih menidihku, dan posisi kami masih seperti pasangan jantan dan betina yang sedang senggama.
Kurasakan kedutan kelamin kami berpadu sampai akhirnya hilang perlahan, aku ngantuk dan terpejam, aku tertidur pulas dibuai kenikmatan dari penis pembantuku.

Paginya aku terbangun saat Minah menggoyang-goyang bahuku.
“Nyah bangun Nyah…, kok Nyonya telanjang diluar begini sih ?,” suara Minah bercampur heran melihatku dalam kondisi bugil tertidur di sofa tengah.
“Ehh Min, oh… aku ketiduran semalam nih,” aku segera bangkit dan beranjak ke kamarku sambil pakai daster kembali, Jaka sudah tak ada entah di mana dia.

Siangnya aku baru tahu dari Ijah kalau Jaka kabur. Dia cuma bilang ke Ijah kalau dia punya masalah sama preman di pasar tempat aku membeli barang dagangan untuk kios milikku. Aku tahu Jaka takut kejadian malam tadi sampai terdengar Mas Rudi, ia pikir ia telah memperkosaku. Kasihan juga Jaka, seharusnya aku jujur kalau aku pun ingin begituan, lagipula aku juga yang memancing birahinya. Tapi begitulah, aku juga gengsi sebagai majikan relah disetubuhi pembantu.

Belum lagi selesai memikirkan Jaka yang kabur, sorenya Maman dan Minah menemuiku. Mas Rudi pulang cepat sore itu, dan mereka berdua, Maman dan Minah berbicara dengan kami di ruang tamu.
“Anu Pak Rudi, kami salah pak…, anu pak,” Maman gagap.
“Ada apa pak Maman bicara saja,” dorong Mas Rudi. Tadinya aku yang gugup jangan-jangan Maman mau bongkar rahasia seks kami selama ini, tapi setelah itu aku lega.

“Kami mau pulang kampung pak, si Minah hamil, kami harus nikah,” pengakuan Maman membuatku agak terkejut sekaligus kecewa, apalagi Jaka sudah pergi juga. Terbayang olehku hari-hari yang bakalan sepi disaat gairah seksku sedang tinggi-tingginya akhir-akhir ini.

Singkatnya sore itu Mas Rudi mengijinkan mereka pulang kampung sekaligus membayar pesangon kerja mereka. Sejak saat itu di rumah hanya ada aku, Ijah dan Mas Rudi yang selalu pulang larut malam. Meski dua pembantu lelaki itu sudah tiada tapi kenangan bersama mereka selalu kukenang, terutama saat aku birahi sendiri dalam sepi, bersama penis Mas Rudi yang tak bisa berdiri lagi.


E N D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar