Daftar isi

Rabu, 11 Januari 2012

Pengantin Villa Roubert van der Aarkman 1

Cuaca di siang itu cukup cerah, matahari bersinar terang dan angin tampak bertiup semilir. Ya, cuaca di gunung pada hari itu memang cukup menyenangkan untuk piknik dan tentu saja cocok bagi para muda-mudi untuk bersenang-senang. Namun lain halnya dengan sepasang kekasih yang tampak bertengkar di jalan setapak diatas gunung itu.

“Gimana, sih?! Katanya tadi mobilnya sudah diperiksa! Kok malah mogok di tanjakan?!” gerutu seorang gadis yang memanggul sebuah ransel kemping berwarna jingga dibahunya.
Gadis itu berperawakan sedang dengan tinggi 155 cm. Wajahnya yang manis dengan rambut hitam yang pendek tampak dibasahi oleh peluh yang sesekali disekanya dengan pergelangan tangannya yang putih mulus sementara tubuhnya yang mungil namun padat proporsional tampak tidak berbeda jauh karena keringat yang becucuran disekujur tubuhnya. T-shirt yang dipakai oleh gadis itu sudah basah dan kusut, sementara celana pendeknya yang berwarna abu-abu tampak kumal karena terkena cipratan tanah dan lumpur.
“Melissaa, Jangan marah begitu dong, mau bagaimana lagi? Aku nggak tahu kalau radiatornya bakal kepanasan.” Jawab seorang pemuda yang berjalan sambil menenteng barang bawaan mereka di samping Melissa, gadis beransel jingga itu.
“Gimana aku nggak marah coba? Sekarang sudah jam 4 sore dan kamu tahu kan, sudah berapa lama kita berkeliling disekitar gunung ini? Sudah 2 jam lebih! Kita saja belum ketemu jalan utama lagi!” ujar Melissa kesal.
“Lagipula ini usulnya siapa coba? Katanya: ‘Tinggalin saja mobilnya, kita coba cari jalan lewat gunung, sekalian jalan-jalan?’ Tapi orang yang mau hikingnya malah nggak bawa kompas atau peta? Konyol deh! Aku juga heran kenapa aku mau saja ikut tadi! Kalau tahu begini, mendingan aku tinggal saja di mobil!” omel Melissa pada Ryan, pemuda yang sedari tadi berusaha meredakan amarahnya itu.

Ryan hanya bisa menghela nafas mendengar omelan Melissa. Memang ini salahnya karena mobil yang ia sewa tidak diperiksanya secara seksama. Terlebih lagi, niatnya untuk menghibur Melissa dengan mengajak gadis itu untuk menikmati panorama alam malah berbalik menjadi malapetaka saat mereka tersesat di gunung itu.
Ryan sebelumnya sempat datang ke gunung itu, karena itulah ia tidak membawa peralatan seperti kompas maupun peta sebab ia sempat menghafal jalan-jalan di gunung itu. Namun kini ia merasa heran karena sudah hampir 3 jam mereka mencari jalan menuju jalan utama, namun yang mereka temui hanyalah jalan setapak yang bercabang-cabang, seolah makin menyesatkan mereka di gunung itu. Kaki Ryan sudah pegal, apalagi dengan beban yang dijinjingnya itu, kian membuat tiap langkahnya terasa menyakitkan.

“Mel, bagaimana kalau kita istirahat dulu?” tanya Ryan.
“Heh? Istirahat? Memangnya kamu kecapekan?” ujar Melissa bingung.
“Iya laah, sudah dari tadi kita mencari jalan kembali tanpa duduk sedikitpun. Staminaku nggak sekuat kamu, Mel!” jawab Ryan. Wajar saja kalau Ryan tidak mampu bersaing dengan stamina Melissa. Melissa yang rajin berolahraga dan bagian dari klub atletik di kampus mereka tentu saja memiliki stamina yang lebih tinggi dari Ryan.
“Kamu harus banyak olahraga tahu, masa baru begini saja sudah capek? Padahal kita sama-sama baru 20 tahun, tapi kamu malah lebih loyo dariku.”
“Iya, iya terserah deh! Sekarang kita boleh istirahat sebentar kan?” tanya Ryan.
“Ya sudah! Kita istirahatnya disebelah sana saja, ya!” ujar Melissa sambil menunjuk sebuah pohon yang rindang tak jauh dari tempat mereka berada.

Melissa dan Ryan pun akhirnya berteduh dibawah pohon itu. Melissa melepas ranselnya dan bersandar dipohon itu untuk mengistirahatkan tubuhnya, sementara Ryan berbaring diatas rerumputan sambil menggunakan barang bawaan mereka sebagai bantal.
“Huuh! Lain kali kalau mau merayakan ulang tahun jadian kita, ajak saja aku ke restoran kenapa? Daripada hiking di gunung dan tersesat seperti ini!” kembali Melissa menggerutu kesal.
“Iya, iya maaf. Kukira kamu suka bertualang, makanya aku ajak ke gunung!”
“Hee? Kenapa kamu kira aku suka bertualang?” tanya Melissa sambil mendelik ke arah Ryan.
“Soalnya kamu itu kan agak…” jawab Ryan dengan sedikit ragu.
“Agak apaa? Hmm?” tanya Melissa dengan tatapan penuh kecurigaan.
“Agak… tom…boy” jawab Ryan pelan.
BRUUK… “Aduh!!” Ryan mengaduh kesakitan saat ransel jingga milik Melissa melayang kearah wajahnya dan mengenai hidungnya.
“Enak saja! Sudah bikin orang tersesat masih berani bicara begitu!” gerutu Melissa
“Iya, iya maaf. Meel…”
“Huh! Padahal si Linda dan Felicia sering dipuji-puji pacarnya! Aku bukannya dipuji malah dikatain tomboy!” omel Melissa.
“Iya deeh, kamu manis kok!” ujar Ryan menenangkan Melissa.
“Yang beneer?” tanya Melissa sambil mendelik curiga pada Ryan.
“Iyaa, kalau nggak, mana mungkin aku minta kamu jadi pacarku?”
“Ya sudah kalau begitu! Aku maafin deh!” jawab Melissa ceria sambil tersenyum pada Ryan. Ryan sedikit terpesona melihat senyum manis kekasihnya itu. Walaupun memang sifat Melissa agak tomboy, namun tidak dipungkiri kalau banyak mahasiswa yang tertarik pada wajah manis Melissa. Ryan termasuk amat beruntung bisa menjadikan Melissa sebagai pacarnya.

“Jadi?” tiba-tiba lamunan Ryan terbuyarkan oleh pertanyaan Melissa.
“A… apa, Mel?” tanya Ryan gagap.
“Bagaimana rencananya sekarang? Ini sudah sore dan sebentar lagi malam. Kamu mau nginap ditengah gunung begini?” tanya Melissa.
“Eh? Oh iya! Kita harus cepat keluar dari gunung ini kalau begitu.”
“Masalahnya, kamu tahu sekarang kita ada dimana nggak, Einstein? Gimana caranya kita keluar dari gunung ini kalau kamu saja bingung kita ada dimana?” sindir Melissa dengan gusar.
“Bagaimana kalau kita tanya ke bapak yang ada disana?” ujar Ryan sambil menunjuk kearah sesosok orang tua yang sedang berjalan memanggul kayu bakar.
“Eh?” Melissa terkejut melihat orang tua itu. Ia tidak menyangka mereka akan bertemu seseorang karena sejak pertama kali menjelajahi gunung itu, mereka tidak bertemu dengan siapapun.
“Ryan! Cepat tanya bapak itu! Sekarang kita ada dimana? Ayo cepat!” seru Melissa setengah panik bercampur girang.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ryan dan Melissa segera berlari mendekati lelaki tua itu. Ryan dan Melissa terhenyak sesaat melihat penampilan pria itu, mereka tampak heran bagaimana pria itu masih mampu memanggul kayu bakar di pundaknya. Lelaki tua itu berbadan kurus dengan kulit yang keriput dan janggut putih yang panjang. Tangannya yang ringkih sedang memegang tongkat kayu untuk menyangga tubuhnya yang tampak gemetaran, sementara ia memanggul sebuah tas kulit berisi beberapa potong kayu bakar yang diikatkan pada bahunya dengan tali rami. Kepalanya tampak ditutupi dengan sebuah caping. Melissa tampak mundur sedikit dan berlindung dibalik tubuh Ryan karena ketakutan melihat penampilan orang tua itu.

“Permisi, Kek. Kami mau minta tolong, bisakah kakek menunjukkan jalan untuk turun dari gunung ini?” tanya Ryan dengan sopan.
“Kalian… mau turun gunung? Anak muda…” tanya orang tua itu terbata-bata.
“Iya Kek. Kami tersesat disini… Bolehkah Kakek membantu kami?”
“Boleeh… tapi Nak… lebih baik, kalian tidak… turun gunung dulu, hari ini…”
“Lho, kenapa Kek?”
“Kalian… sudah terlalu jauh… jalan menuju ke Batavia… masih 5 jam jalan kaki… dari sini…” ujar orang tua itu.
“Batavia? Maksud Kakek… Jakarta?” tanya Ryan heran.
“Bukaan… Batavia… Apa itu Jakarta, Nak? Ini sudah hampir malam… tidak baik kalau kalian… turun gunung sekarang… berbahaya…” ujar kakek itu.
“Jadi kami harus bagaimana, Kek?” tanya Melissa gusar.
“Aah… begini… kalau mau… kakek bisa mengantar ke desa kakek… mungkin besok kita sampai…” ujar lelaki itu memberi tawaran.
“Besok pagii?” tanya Melissa melongo setengah tidak percaya.
“Iyaah… desa kakek masih jauh… tapi… kalau mau, kalian mungkin… bisa pergi ke… villa Meneer Roubert…” usul orang tua itu.
“Villa Meneer Roubert?” tanya Ryan kebingungan.
“Kalian… bisa menemukan villa itu… sekitar setengah jam berjalan kaki… dari sini… ikutilah jalan itu… nanti kalian… akan sampai…” ujar orang tua itu sambil menunjukkan sebuah jalan setapak dengan telunjuknya yang kurus dan keriput.

“Jadi bagaimana?” gumam Ryan bingung sambil melirik Melissa.
“Ya, mau bagaimana lagi? Lebih baik kita pergi ke Villa itu. Kata kakek ini memang benar, ini sudah hampir malam dan juga berbahaya kalau kita turun gunung waktu malam hari. Lagipula kita sudah pasti nggak bisa pulang hari ini. Untung hari ini hari Jumat, jadi kita nggak ada kelas besok.” Ujar Melissa.
“Kamu yakin?”
“Iyaa, memangnya kamu mau jalan turun gunung selama 5 jam waktu malam? Baru jalan 2 jam setengah saja sudah kecapekan.” cibir Melissa. Ryan berpikir sejenak, dan memang hal yang paling masuk akal adalah menginap di villa itu dan turun gunung keesokan harinya, bertepatan dengan weekend.
“Jadi, kami akan bisa sampai di villa itu kalau kami mengikuti jalan setapak itu?” tanya Ryan pada kakek itu.
“Iya… benar Nak…”
“Terima kasih banyak, Kek! Nama kakek siapa?” tanya Ryan sambil menjabat tangan orang tua itu dengan gembira.
“Sapto…” ujar Kakek itu pelan.
“Terima kasih, Kek Sapto! Ini, untuk beli rokok!” ujar Ryan sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar sepuluh ribuan dan menyerahkannya pada Kek Sapto.
“Ini… ini… apa nak?” tanya Kek Sapto kebingungan.
“Sepuluh ribu, Kek! Silahkan, ini uang untuk kakek!”
“Uang? Nak… jangan mempermainkan kakek… nanti kualat…” ujar Kek Sapto dengan nada tinggi.
“Lho? Tapi ini uang asli kek? Kenapa kakek bilang saya mempermainkan Kakek?”
“Itu bukan uang…. Ini yang namanya uang…” Ujar Kek Sapto sambil merogoh saku celananya yang butut. Dikeluarkannya tiga keping perunggu. Ryan dan Melissa membelalak sejenak, kepingan perunggu itu adalah koin 1 sen bercap Belanda yang beredar pada zaman penjajahan; disana tertulis jelas tahun cetakan uang itu, masing-masing 1833, 1829 dan 1832.
“Tapi…itu kan uang… Aduh!” Ryan mengaduh saat Melissa mencubit lengannya.
“Sudah! Ngapain sih kamu malah ribut dengan kakek tua pikun! Cepat! Kamu mau keburu malam baru sampai?” bisik Melissa.
“Iya… tapi itu… Argh!” Ryan tidak bisa berdebat lebih lama karena Melissa semakin keras mecubitnya.

“Nah, Kek Sapto, Terima kasih banyak atas bantuannya, maaf pacar saya ini tidak sopan!” ujar Melissa sambil tersenyum. Kek Sapto kembali memasukkan uangnya itu kedalam sakunya.
“Tidak apa-apa… tapi jangan kalian ulangi lagi… mempermainkan orang tua itu tidak baik… Nak…” ujar Kek Sapto.
“Iya, Kek. Kami mohon maaf. Kami akan pergi ke villa itu sekarang. Terima kasih banyak atas bantuannya, Kek!” ujar Melissa melambaikan tangannya sambil menarik Ryan kearah barang bawaan mereka.
“Tapi… Mel…”
“Sudahlah! Kita harus cepat tahu! Masih setengah jam jalan kaki! Ini sudah hampir jam 5! Sudah untung kita bisa bertemu orang disini, kamu malah mau ribut!” bisik Melissa dengan gusar. Ryan pun tidak bisa memprotes Melissa karena yang dikatakan gadis itu memang benar; mereka harus segera sampai di Villa itu sebelum malam.

Ryan dan Melissa pun memunguti barang bawaan mereka dan kembali berangkat untuk mencari villa itu. “Daah! Hati-hati di jalan ya, Kek Sapto!” seru Melissa sambil melambaikan tangannya pada Kek Sapto.
Kakek tua itu ikut melambaikan tangannya pada Ryan dan Melissa. Ia lalu duduk sejenak diatas sebuah batu berlumut sambil melepas capingnya. Dilihatnya sosok tubuh kedua muda-mudi itu semakin menjauh menuju villa yang ditunjuknya barusan.
“Meisje Cerenia… Anda akan… kembali lagi…” ujarnya sambil tersenyum menyeringai, menampakkan gigi-giginya yang ompong dan hitam.

Sementara itu, Ryan dan Melissa terus menyusuri jalan setapak yang ditunjuk oleh Kek Sapto. Ditengah perjalanan, Ryan tampak merenung dengan seksama.
“Apaan sih?! Kok melamun melulu?” tanya Melissa gusar.
“Bukan, Mel. Aku cuma bingung dengan keadaan disekitar sini.” Gumam Ryan.
“Maksudnya?”
“Gunung ini kan didekat kota besar, jadi pasti ada beberapa orang yang lewat. Tapi kenapa dari tadi kita tidak bertemu siapapun kecuali Kek Sapto?”
“Eh? Mungkin mereka semua pergi ke tempat lain?”
“Itu nggak mungkin. Kalau begitu, pasti ada warung atau gubuk tempat pemukiman warga. Apalagi ini kan didekat kota? Tapi kenapa keadaannya sunyi senyap begini?”
“Mmm…” Melissa bergumam sejenak, yang dikatakan Ryan memang masuk akal. Suasana sunyi ini amat berbeda, seolah tidak ada manusia yang melintasi gunung itu, seolah gunung itu seperti daerah yang belum terjamah saja padahal gunung itu sering dibuka untuk umum.
“Lagipula, ini aneh sekali! Suasana di gunung ini, entah kenapa semuanya jalan setapak dari batu. Tidak ada tangga sama sekali, padahal ditempat lain pasti ada tangga batu atau apalah, yang lebih modern. Dan lagi, seingatku hutannya tidak serimbun ini waktu pertama kali aku datang. Makanya kita bisa tersesat, daerah ini seolah berubah total.” jelas Ryan.

Melissa mulai merinding mendengarkan celotehan Ryan.
“Terus, ada lagi yang paling aneh!”
“A… apa?” tanya Melissa dengan cemas.
“Kita seolah-olah berjalan semakin masuk kedalam gunung ini, padahal aku yakin kalau kita berjalan kearah jalan keluar. Buktinya, tadi Kek Sapto berkata bahwa kita butuh 5 jam untuk mendaki turun. Anehnya lagi, banyak kutemukan jalan-jalan yang sebelumnya tidak ada, seperti jalan ini!”
“Ng… ya sudah deh kalau begitu, mungkin cuma perasaaanmu saja. Ayo… kita harus cepat ke villa itu.” ujar Melissa dengan nada agak terburu-buru dan mempercepat langkahnya. Namun Ryan malah melanjutkan pemikirannya itu.
“Lalu, Kek Sapto sendiri… Pembicaraannya seolah-olah dia hidup di tahun 1800-an. Batavia, lalu mata uang Belanda itu dan lagi kata Meneer… itu panggilan ‘tuan’ untuk orang Belanda… Jangan-jangan dia…”
“STOOP!”
BRUUK!! Kembali ransel jingga Melissa melayang ke wajah Ryan sebelum Ryan sempat menyelesaikan kalimatnya.
“Aduuh! Kenapa sih, Mel?” tanya Ryan dengan heran.
“Kamu tuh ya! Jangan bicara yang aneh-aneh!! Ngerti nggak sih? Kita lagi tersesat tahu! Bukannya membantu cari jalan malah celoteh melulu!!” seru Melissa dengan marah, wajahnya tampak memancarkan raut ketakutan.
“Eh? Kamu takut ya?”
“Aku ini cewek tahu! Ya jelas, lah! Dasar cowok tak peka! Sudah setahun pacaran tapi masih saja nggak mengerti perasaan cewek!” jawab Melissa sambil melangkah pergi dengan kesal. Ryan tersenyum sejenak, ia tidak menyangka kalau Melissa rupanya takut dengan cerita hantu dan misteri; tentunya Melissa masih memiliki sifat feminin walaupun seringkali terlihat tomboy. Ryan pun segera menyusul Melissa sambil membujuk pacarnya itu.
“Sorii, Mel… Aku nggak tahu kalau kamu takut dengan cerita begituan…” bujuk Ryan.
“Hu-uuh! Kenapa sih pacarku bikin bete melulu?”
“Iya, iya… maaf… aku janji nggak macam-macam lagi…” bujuk Ryan.

Selama beberapa saat berjalan, akhirnya mereka sampai disebuah Villa megah. Villa itu berarsitektur kolonial Eropa, dengan pilar-pilar berwarna putih yang khas zaman kolonial, ukuran villa itu beberapa kali lipat dari rumah mewah di Jakarta. Gantungan lampu dari kaca merah tampak begitu antik menghiasi beranda villa itu. Disekitar villa itu, terdapat sebuah kebun bunga dan kebun cengkeh yang tumbuh subur.
Melissa agak tertegun dan canggung melihat villa itu, apalagi setelah mendengar pemikiran Ryan sebelumnya. Memang, seolah waktu telah berputar kembali ke masa tahun 1800-an.
“Tuh kan…” tutur Ryan, namun ia segera menghentikan kalimatnya saat Melissa menatapnya tajam dengan ransel yang sudah siap dilemparkan ke wajahnya.
“Iya, iya… Mungkin yang tinggal disini orangnya nyentrik… suka zaman Belanda dan mungkin Kek Sapto mendapat uang itu darinya…” ujar Ryan buru-buru menenangkan Melissa.
“Awas kalau kamu nyeletuk macam-macam!” ancam Melissa sambil beranjak menuju ke Villa itu.

Mereka segera mengetuk pintu villa yang terbuat dari kayu jati itu. Pintu itu pun dibuka, dan sesosok nenek tua tampak membukakan pintu itu. Kulit nenek itu amat putih dan hidungnya agak mancung, seperti orang Eropa. Rambut nenek itu sudah memutih, umurnya mungkin sekitar 60an tahun, ia memakai gaun hitam seperti pakaian wanita tua di Eropa. Wanita itu tampak ramah dan tersenyum gembira saat melihat Ryan dan Melissa.

Ryan lalu mengemukakan permintaannya agar mereka boleh diizinkan menginap di villa itu untuk semalam. Wanita itu dengan senang hati mengizinkan Ryan dan Melissa untuk menginap. Wanita tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Agatha, pelayan dan perawat di villa itu. Villa itu adalah milik Roubert van der Aarkman. Seorang tuan tanah yang cukup terkenal disekitar daerah itu. Ryan dan Melissa tampak agak keheranan saat mendengar kata ‘tuan tanah’, mereka beranggapan bahwa Roubert pastilah seorang Belanda yang amat nyentrik, karena penggunaan istilah tuan tanah itu.

Agatha lalu mengantarkan Ryan dan Melissa ke kamar mereka masing-masing. Ryan dan Melissa tampak terpesona melihat interior rumah itu; semuanya tampak antik. Perabot-perabot dari kayu jati, porselen dan guci keramik, serta chandelier dari kuningan yang tampak indah. Anehnya, mereka tidak menemukan satupun peralatan elektronik. Bahkan tidak ada lampu sama sekali; untuk penerangan, villa itu menggunakan lilin.
“Wah, perabotnya benar-benar antik…” gumam Melissa
“Nek, nenek sudah lama tinggal disini?” tanya Ryan.
“Ya, saya sudah bekerja untuk Meester Roubert sejak kami masih di Rotterdam dulu.” Kenang Agatha.
“Jadi nenek asli orang Belanda?” tanya Melissa
“Ya, saya lahir di Eindhoven. Kami sudah pindah kemari sejak 20 tahun lalu. Makanya kami fasih berbicara bahasa pribumi; walaupun saya merasa bahwa nada suara anda tampak agak aneh dibandingkan mereka.” Jawab Agatha.
“Waah, pantas saja rumahnya begini! Mirip dengan rumah di masa kolonial dulu.” Puji Melissa.
“Benar-benar nyentrik, sampai lampu saja tidak dipasang. Semuanya model antik.” Gumam Ryan.
“Huss! Jangan celoteh melulu! Kamu mau kita diusir? Sudah untung kita boleh menginap!” ketus Melissa sambil menyikut rusuk Ryan.
“Iya, iya maaf…” ujar Ryan menenangkan Melissa.

Saat hendak menaiki tangga, perhatian mereka tertuju sejenak pada sebuah lukisan wanita muda berukuran besar yang tergantung pada dinding rumah itu. Wanita itu amat cantik, rambutnya berwarna kecoklatan dan tergerai panjang, kulitnya putih mirip dengan Agatha, hidungnya yang mancung dan matanya yang berwarna biru menegaskan kalau ia adalah wanita dari Eropa. Wanita itu tampak sedang duduk dan menggenggam serangkaian bunga dengan latar kebun bunga. Pakaian wanita itu yang berupa sehelai gaun putih yang anggun seolah menekankan statusnya sebagai seorang wanita berdarah biru.
“Nek, ini siapa?” tanya Ryan kagum.
“Itu Meisje Cerenia, calon istri tuan Roubert. Ini lukisannya sebelum mereka menikah.” Jawab Agatha.
“Wah, cantik…” gumam Ryan pelan.
“Ergh!” Ryan mengerang saat merasakan cubitan Melissa di lengannya.
“Ngapain kamu jelalatan begitu? Dasar!” gerutu Melissa.
“Meisje Cerenia sudah lama tinggal di Jawa sejak kecil. Sayang, beliau meninggal karena kapalnya tenggelam dalam perjalanan ke Amsterdam bersama orang tua beliau…” tutur Agatha.
“Eh?”
“Ya, kapalnya tenggelam karena badai. Sejak itu tuan Roubert selalu bersedih atas kematian beliau.”
“Oh begitu…” jawab Melissa pelan.

“Ah, maaf! Saya jadi bercerita yang tidak-tidak! Silahkan anda naik ke lantai dua. Kamar anda ada di koridor kiri pintu kedua, sementara kamar Meisje ini ada di koridor kanan kamar pertama. Saya ingatkan agar anda tidak masuk ke kamar diujung koridor kanan, karena kamar itu sedang diperbaiki!” ujar Agatha sambil menyerahkan kunci pada Ryan.
“Terima kasih, Nek!” Melissa menjawab ramah. Mereka pun menaiki tangga itu menuju ke lantai dua.
“Kalian boleh membersihkan diri dulu. Saya akan menyiapkan makan malam.” Ujar Agatha sambil berlalu pergi.
“Untung ya, kita bisa menginap malam ini!” ujar Ryan dengan gembira; namun Melissa tidak merespon, ia tampak mengacuhkan Ryan.
“Meel, jangan marah lagi dong! Aku kan cuma melihat lukisan itu, bukannya aku tertarik.” Bujuk Ryan.
“Huh! Lihat lukisan saja jelalatan! Dasar!”
“Coba kamu pakai gaun seperti itu sekali-kali. Aku belum pernah lihat kamu pakai rok atau gaun.”
“Idiih! Kamu suruh aku pergi kuliah pakai baju begitu?! Bisa-bisa aku diusir dosen waktu masuk kelas!”
“Bukaan, coba kamu pakai rok atau apalah yang agak feminin. Soalnya setiap hari aku lihat kamu pakai celana melulu.” Saran Ryan pada Melissa.
“Nggak ah! Risih tahu! Nggak bebas! kalau kakiku membuka sedikit saja, pasti bakal ada yang jelalatan!” tolak Melissa. Ryan menghela nafas, memang susah untuk membujuk gadis tomboy seperti pacarnya itu untuk memakai rok atau pernak-pernik yang feminin; walaupun begitu, Ryan masih membayangkan betapa cantiknya Melissa apabila gadis itu mau tampil sedikit feminin.
“Oke deh, aku pergi ke kamarku dulu ya? Kamu berani sendirian kan?” tanya Ryan setengah menggoda Melissa.
“Huh! Terserah deh! Wee!” cibir Melissa sambil menjulurkan lidahnya dan berlalu masuk ke kamarnya.

Melissa membuka kunci kamar itu dan masuk kedalam. Melissa terkagum melihat desain kamar yang luas itu; seisi kamar itu semuanya berperabot antik bernuansa kolonial. Ada sebuah meja rias dan lemari dari kayu jati berwarna coklat. Sementara sebuah ranjang kanopi dengan tirai putih yang halus terpajang dihadapan meja rias itu. Tampaknya kamar itu adalah kamar tidur wanita. Terbukti dengan desainnya perabotnya yang halus dan agak feminin. Melissa melihat ada sebuah kamar mandi kecil, dimana didalamnya ada sebuah bak mandi kuningan dan pancuran air. Peralatan mandi dalam kamar itu semuanya tampak kuno dan antik.

Melissa tidak menunggu lama lagi, ia segera melepas semua pakaiannya dan memutar pancuran air itu. Air gunung yang sejuk segera mengalir membasahi tubuh Melissa, membersihkan peluh yang melekat di tubuhnya sejak tadi. Melissa merasa tubuhnya segar kembali setelah mandi. Melissa membalut tubuhnya dengan sehelai handuk dan beranjak mengambil pakaiannya dalam ransel miliknya.

Saat mengambil ranselnya, Melissa penasaran saat melihat lemari pakaian kayu jati yang ada disamping meja rias itu. Melissa lalu membuka lemari itu dan ia terkejut saat melihat sehelai gaun putih yang indah tergantung rapi di lemari itu. Melissa menyadari bahwa gaun itu adalah gaun pengantin.
Walaupun desainnya tampak kuno, namun tidak dipungkiri bahwa gaun itu amat cantik. Gaun pengantin itu terbuat dari sutra berkualitas tinggi. Atasan gaun itu berlengan panjang hingga ke pergelangan tangan, dengan puff lembut untuk menutupi bahu pengantin wanita. Terdapat beberapa hiasan bunga-bunga kecil dari satin yang menghiasi bagian dada dan perut gaun itu. Bagian belakang rok itu tidak tertutupi dengan zipper, sebagai gantinya, kancing-kancing putih yang kecil menutupi gaun itu hingga setengah bagian punggung dan dibawahnya terdapat sulaman tali yang mengencangkan gaun itu. Di pinggul, terdapat sebuah pita besar yang menekankan kesan feminin, ditambah dengan rok gaun panjang mengembang khas gaya victorian yang polos namun anggun. Terdapat pula sulaman renda-renda cantik disekitar rok gaun itu sehingga rok itu seolah tampak berlapis-lapis. Melissa menghirup aroma wangi semerbak bunga lili dari gaun itu.
Di lemari kecil disamping gaun itu, terdapat beberapa aksesoris wanita seperti bando berhiaskan permata, bros emas, jepit rambut keemasan, tiara perak kecil dan masih banyak perhiasan wanita lainnya.

Entah mengapa, tiba-tiba muncul sebuah dorongan dari dalam hati Melissa yang seolah memerintahkannya untuk mengeluarkan gaun itu. Melissa lalu mengeluarkan gaun itu dari lemarinya dan mengamati gaun itu sejenak. Melissa lalu berjalan kehadapan cermin meja rias itu; tanpa sadar, Melissa menempelkan gaun itu ke tubuhnya, seolah hendak mengepaskan gaun itu di tubuhnya. Melissa melihat ukuran gaun itu terlalu besar baginya. Ukuran gaun itu pasti disesuaikan dengan tubuh wanita-wanita Eropa. Pinggul dan payudara Melissa yang mungil seolah tertelan dengan ukuran gaun itu.

Saat mengamati gaun itu di tubuhnya lewat cermin, tiba-tiba suasana kamar itu terasa agak gelap, berbeda dengan kegelapan akibat datangnya malam, terasa ada hawa yang mencekam didalam kamar itu. Melissa hendak melepaskan gaun yang dipegangnya, namun entah kenapa sekujur tubuhnya terasa kaku dan tangannya semakin erat mencengkeram gaun itu, seolah tidak ingin melepaskan gaun itu dari tubuhnya. Terasa hembusan angin dingin yang menusuk sumsum tulang Melissa sehingga ia merasa takut sekali. Melissa berusaha untuk lari atau menjerit, namun tubuhnya sama sekali tidak mau bergerak dan kerongkongannya serasa tersumbat oleh hawa yang mencekam itu. Melissa tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya berdiri mematung dihadapan meja rias itu. Seolah tenaga dari sekujur tubuhnya tersedot seluruhnya.
Melissa amat terkejut saat melihat bayangan cermin itu. Bayangan Melissa kini berganti dengan bayangan seorang wanita muda yang persis dengan lukisan yang tadi dilihatnya, wanita itu tampak tersenyum di cermin itu dan menatap wajah Melissa secara langsung. Keringat dingin mengucur disekujur tubuh Melissa, sementara tubuhnya gemetar karena rasa takut yang mencekam itu.

“Gaun itu adalah milikku yang akan menjadi milikmu…” Tiba-tiba terdengar suara bisikan seorang wanita di telinga Melissa. Seketika itu pula hawa yang mencekam itu lenyap dari tubuh Melissa, dan tubuh Melissa terbebas dari rasa kaku. Melissa langsung ambruk ke lantai, tubuhnya masih gemetar ketakutan dan kini kepalanya terasa sakit sekali; nafasnya tampak tersengal-sengal seolah baru terbangun dari mimpi buruk. Apa yang baru dilihatnya itu nyata? Bayangannya yang berubah menjadi bayangan wanita bernama Cerenia dalam lukisan itu sangat tidak masuk akal, namun rasa mencekam itu terasa nyata seolah tubuh Melissa berubah menjadi patung. Melissa melihat gaun pengantin yang masih tercengkeram erat di tangannya; Melissa teringat perkataan Cerenia tentang gaun pengantin yang dikatakan akan menjadi miliknya itu, apakah benar ia telah mendengar suara itu? dan apakah suara itu benar-benar suara Cerenia? Melissa tidak mampu berpikir sama sekali; ia masih shock berat dengan kejadian yang baru saja ia alami. Ditambah lagi kepalanya sekarang terasa amat sakit, padahal tadinya ia masih baik-baik saja.

“Meel! Makan malamnya sudah siap!” tiba-tiba terdengar suara Ryan yang memecah lamunan Melissa.
“Oh?! Iya, iya! Sebentar!” Melissa bergegas mengenakan pakaiannya. Ia berusaha menghilangkan rasa takut yang masih merasuk dalam pikirannya dan rasa sakit yang seolah hendak memecahkan kepalanya. Melissa segera keluar dari kamar itu untuk menemui Ryan.
“Lho, Mel? Kamu kenapa? Kok pucat begitu?” tanya Ryan saat melihat wajah Melissa yang pucat pasi.
“A…ah! Nggak apa-apa! Ayo, kita makan!” jawab Melissa. Ryan merasa agak janggal dengan kelakuan Melissa itu, ia pun kembali hendak mengisengi Melissa.
“Waah, jangan-jangan kamu ketemu dengan Cerenia ya?” goda Ryan dengan iseng.
“DIAAM! Sudah kubilang aku nggak apa-apa!!” Ryan terkejut sejenak saat Melissa membentaknya dengan keras. Belum pernah dilihatnya Melissa seperti itu. Wajah Melissa saat itu tampak sayu dan kelelahan.
“Mel, kamu kenapa? Kok seperti ini sih?” tanya Ryan. Ia lalu mendekati Melissa dan menempelkan telapak tangannya di kening gadis itu.
“Wah, pantas! Kamu demam lho! Panas banget!” ujar Ryan.
“Sudahlah… Aku nggak apa-apa kok… Ayo kita turun. Bu Agatha mungkin lagi menunggu…” Melissa langsung berjalan turun. Entah kenapa, sekali lagi suasana terasa amat aneh, seolah Melissa sudah mengenal baik villa itu dan seperti ada ingatan tentang villa itu yang satu-persatu muncul dalam otak Melissa bersamaan dengan rasa sakit yang menyengat syaraf otaknya. Melissa seperti merasakan sebuah Déjà vu dirinya di villa itu.

Saat mereka tiba di lantai dasar, mereka mendengar suara ringkikan kuda. Seorang pria Eropa berperawakan besar sedang mengendarai seekor kuda di halaman dengan ditemani oleh seorang pria pribumi yang kurus dan memakai blangkon.
“Ya kita sudah sampai! Tolong masukkan Vierne kedalam kandangnya dan beri dia makan!” ujar lelaki itu sambil menghela tali kekang kudanya.
“Baik, Meester!” jawab pria pribumi itu dengan manut-manut. Kuda itu lalu digiring kembali ke kandang. Sementara pria itu berjalan masuk menuju villa itu. Agatha segera membungkuk menyambutnya saat pria itu tiba didepan pintu. Penampilan pria itu tak kalah antik dari rumahnya; sepatu bot necis berwarna coklat yang sering dilihat pada film-film bertema kolonial dengan celana panjang dan jas coklat yang menutupi tubuhnya yang kekar memberinya kesan kuno yang kental, apalagi dasi simpul antik yang kini nyaris tidak pernah terlihat lagi menghiasi kemeja putih dibalik jas lelaki itu.
Tak ketinggalan, ia juga memakai topi tinggi dan tongkat kayu hitam yang memperkuat kesan kesan maskulin seperti seorang “gentleman” Eropa. Pria itu cukup tinggi seperti layaknya pria-pria Eropa dengan tinggi sekitar 180 cm. Usia pria itu sudah mendekati akhir 40-an, terlihat dari kulitnya yang mulai keriput yang terlihat samar dibalik janggut coklatnya yang tipis. Entah kenapa, Melissa merasakan perasaan yang tidak asing lagi saat melihat pria itu, seolah ia sudah lama mengenal pria itu. Jantung Melissa terasa berdebar kencang, ada rasa rindu yang memenuhi hati Melissa, seolah ia sudah lama menanti kedatangan pria itu.
“Welkom, Meester.” Agatha mengucapkan selamat datang dengan ramah dalam bahasa Belanda.
“Ah, Agatha! Saya sudah lapar. Bisakah kita makan sekarang?” ujar pria itu. Ryan dan Melissa terhenyak saat mendengar betapa fasihnya pria Belanda itu berbicara bahasa Indonesia.
“Baik, Meester.” Jawab Agatha sambil membungkuk meminta permisi dari pria itu dan beranjak ke dapur.
“Hmm? kenapa ada dua Jong Chinees disini?” gumam pria itu. Ryan dan Melissa terkejut saat pria itu menyadari kehadiran mereka.
“Goede Avont, Roubert.” ujar Melissa tiba-tiba. Mereka semua terkejut mendengar ucapan ‘selamat malam’ dalam bahasa Belanda itu. Melissa langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya, seolah tidak percaya apa yang baru dikatakannya.
“Mel? Kamu bisa bahasa Belanda? Memangnya kamu sudah kenal Mr. Roubert?” tanya Ryan yang tampak heran melihat tingkah pacarnya itu. Melissa hanya menggelengkan kepalanya dengan keras, ia masih kebingungan; sejak kapan ia bisa berbahasa Belanda? Kata-kata itu seolah meluncur sendiri dari mulutnya.
“Ah, apa kita sudah pernah bertemu, Meisje?” tanya Roubert dengan sopan. Melissa hanya menggelengkan kepalanya dengan kebingungan.
“Maaf, Mister. Dia agak sedikit demam. Mungkin dia kelelahan.” Ujar Ryan.

Melissa masih kebingungan, ia melihat sekelilingnya dan matanya kembali tertuju pada lukisan Cerenia. Teror rasa takut yang mencekam kembali menyergap tubuh Melissa saat menyadari bahwa gaun yang dikenakan Cerenia dalam lukisan itu adalah gaun yang sama dengan gaun yang tadi ia keluarkan dari lemari kamar. Seketika itu pula semuanya serasa gelap dan tubuh Melissa serasa ditusuk oleh hawa dingin yang mencekam, seolah ada mata pisau yang menempel di setiap permukaan kulitnya, apalagi rasa sakit kepalanya kian menekan kesadarannya.
“Agh!” tiba-tiba, Melissa limbung dan tubuhnya ambruk karena tidak tahan pada tekanan rasa takutnya. Untunglah Ryan dengan sigap berhasil menangkap tubuh Melissa. Melissa tampak menggigil, dan tubuhnya berkeringat hebat.
“Mel? Kamu kenapa, Mel? Ya ampun! Panasnya semakin tinggi.” Ryan semakin khawatir.
“Oh? Kalau begitu dia harus istirahat! Bawalah dia kembali ke kamarnya. Saya akan meminta Agatha untuk memasakkan sup untuknya! Ambillah kompres diruang kesehatan untuk meredakan demamnya” ujar Roubert.
“Dimana letaknya, Mister?”
“Ruang kedua… setelah dapur… tepat dihadapan perpustakaan…” tiba-tiba Melissa bergumam sendiri, seolah ia sudah hafal dengan seluk-beluk rumah itu.
“Mel?” Ryan semakin bingung dengan perilaku Melissa yang kian aneh. Namun Ryan tidak mau bertanya lebih lanjut. Ia lebih khawatir dengan kondisi Melissa yang sejujurnya mulai membuatnya takut.

Melissa lalu dibaringkan di ranjang kamarnya, sementara Ryan mengikuti petunjuk Melissa untuk menemukan ruang kesehatan itu; dan memang, letak ruang itu persis seperti yang dikatakan oleh Melissa.
Ryan segera kembali ke kamar Melissa sambil membawa kompres dan baki berisi air untuk Melissa. Sesampainya disana, Ryan melihat Roubert dan Agatha sudah berada disamping Melissa. Agatha tampak menyuapi Melissa dengan sup yang hangat.
“Dia terkena demam tinggi. Lebih baik biarkan dia istirahat.” Ujar Agatha.
“Mel? Kamu baik-baik saja?”
“I… iya… maaf merepotkan… Nek, Mister Roubert…” ujar Melissa dengan lemah.
“Tidak apa-apa, sekarang kamu istirahatlah dulu.” Ujar Roubert ramah.

Tiba-tiba, Melissa mencengkeram tangan Ryan dengan erat.
“Mel? Ada apa?” tanya Ryan bingung, ia bisa merasakan telapak tangan Melissa yang amat dingin.
“Ryan… tolong… temani aku malam ini…” pinta Melissa. Ryan pun sedikit merasa trenyuh melihat keadaan Melissa. Sehari-harinya Melissa tampak selalu bersemangat, namun kali ini ia sangat berbeda; Melissa tampak amat tidak berdaya dan seolah membutuhkan perlindungan, Ryan pun merasa ingin melindungi kekasihnya itu.

“Melissa, biarkan Ryan istirahat. Dia pasti kelelahan; saya akan menemani dan merawatmu.” Tutur Agatha.
“Tenanglah, Agatha dulu pernah bekerja di rumah sakit Rotterdam; dia akan merawat kekasihmu sampai sembuh.” Roubert menimpali sambil menepuk pundak Ryan.
“Lagipula, kamu sendiri harus beristirahat. Sekarang mari kita memberi kesempatan Meisje Melissa untuk beristirahat. Besok kita akan pergi untuk memanggil dokter untuknya.” Lanjut Roubert dengan sopan.
“Ba… baik… Mel, Aku pergi dulu ya? Besok aku akan kembali. Kamu harus cepat sembuh ya?” tutur Ryan penuh perhatian. Melissa hanya mengangguk pelan dan melepaskan pegangan tangannya. Ryan akhirnya beranjak pergi menuju kamarnya bersama Roubert dengan perasaan galau.

Saat melihat Ryan sudah pergi, Melissa tak kuasa menahan isak tangisnya. Agatha segera membelai kepala Melissa untuk menenangkan gadis itu.
“Sudah, sudah… tidak apa-apa, besok kalian akan kembali bertemu.” Ujar Agatha.
“Sekarang, saya akan membantu supaya kamu cepat sembuh. Apa kepalamu terasa sakit, Melissa?” tanya Agatha kembali yang segera dijawab dengan anggukan lemah Melissa.
“Dimana? Apa disini?” tanya Agatha sambil memijat ubun-ubun Melissa.
“Ngh!” Melissa mengerang sejenak, Melissa merasa pandangannya langsung terasa gelap saat merasakan pijatan itu di ubun-ubunnya. Namun, rasa sakit kepalanya menghilang dan kepala Melissa terasa nyaman.
“Apa rasanya enak?” tanya Agatha. Melissa hanya mengangguk, Agatha tersenyum dan melanjutkan pijatannya. Semakin lama, Melissa semakin terbenam dengan rasa nyaman pada kepalanya. Entah kenapa, semakin Agatha memijat kepalanya, semakin Melissa merasa kehilangan tenaganya dan satu-persatu ingatan seseorang tentang Villa itu semakin cepat bangkit dalam pikiran Melissa, seolah Melissa-lah yang mengalami semua ingatan itu. Kesadaran diri dan pikiran Melissa pun perlahan-lahan lenyap saat ia mengalami ingatan-ingatan itu.

Melissa mengingat wajah-wajah penghuni villa itu; Roubert, Agatha dan beberapa orang lainnya. Seolah ia bercengkerama dengan mereka secara langsung. Melissa bisa mengingat hembusan sejuk angin gunung dan wangi bunga saat ia sedang merawat kebun bunga di villa itu; bagaimana saat ia bercanda ria dengan Agatha saat mereka bersama-sama memasak makanan; bagaimana ekspresi gembira sang penjaga kuda saat ia diberikan 3 keping perunggu Belanda oleh Melissa dan bagaimana ia merasakan tubuhnya datang menghampiri dan memeluk Roubert dengan mesra di teras villa itu. Ya, seolah ingatan seseorang, seorang wanita telah masuk dan menggantikan ingatan Melissa.

Tubuh Melissa semakin bergetar dengan kencang saat ingatannya perlahan-lahan diubah oleh pijatan Agatha. Bola mata Melissa tampak tertarik keatas, sementara liur Melissa mengalir lewat pinggir bibirnya. Tubuh Melissa sama sekali tidak berontak saat Agatha menggantikan ingatannya karena kesadarannya sudah hilang sepenuhnya.

CKLEK! Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar Melissa dibuka. Tampak Roubert masuk ke kamar itu.
“Bagaimana?” Tanya Roubert pada Agatha.
“Ya, dia sudah siap.” Jawab Agatha sambil menghentikan pijatannya pada kepala Melissa. Tubuh Melissa segera berhenti bergetar, Agatha pun menutup kelopak mata Melissa yang masih terbuka.
“Melissa, bangunlah.” Bisik Agatha. Seketika itu pula, tubuh Melissa langsung bangkit dari tempat tidurnya. Kelopak matanya ikut membuka, namun tatapan di bola matanya serasa kosong dan hampa karena pikirannya dalam kendali Agatha dan Roubert.
“Persiapkan dia.” perintah Roubert yang segera dijawab dengan anggukan Agatha.
“Bagaimana dengan kekasihnya, Meester?” tanya Agatha.
“Dia akan diurus. Kamu tidak perlu khawatir, kita harus mulai mempersiapkan ritual.” Ujar Roubert.

Sementara itu, Ryan masih tidak bisa tidur karena ia mengkhawatirkan Melissa. Ryan hendak kembali menjenguk Melissa, namun ia memilih untuk mengurungkan niatnya itu supaya Melissa dapat beristirahat tanpa gangguan. Ryan pun berjalan-jalan disekitar rumah itu. Ia bisa melihat luasnya kebun rumah itu yang ditanami cengkeh, rempah-rempah dan bunga. Termasuk kebun bunga yang cukup luas. Ryan melihat seorang pria yang dikenalnya sebagai pria pribumi yang tadi mendampingi Roubert, ia tampak tekun merawat tanaman cengkeh di kebun itu.

“Permisi, Mas.” Sapa Ryan ramah.
“Oh, ada apa, Pak? Bisa saya bantu?” ujar pria itu dengan sopan.
“Ah tidak, saya tidak bisa tidur, makanya saya berjalan-jalan disekitar sini.”
“Ooh, kenapa sulit tidur, Mas?”
“Teman saya sakit demam, saya bingung harus bagaimana.” Tutur Ryan.
“Wah, lelaki yang tadi bersama Mas?” tanya pria itu.
“Hahaha… dia bukan laki-laki. Potongan rambutnya memang pendek, tapi dia perempuan!”
“Weleh… weleeh… Pantas, saya pikir laki-laki tapi kok mukanya manis mirip perempuan? Lagipula, perempuan kok rambutnya dipotong pendek? Benar-benar tidak mirip perempuan.” Ujar pria itu.
“Lho, bukannya biasa, Pak?” tanya Ryan heran.
“Waah, Mas datangnya dari mana sih? Dimana-mana, tidak ada perempuan yang berambut pendek disini. Dari zamannya Inggris waktu saya masih kecil dulu, semua wanita itu pasti pakaiannya gaun. Seperti Meisje Cerenia.”
“Inggris?” tanya Ryan semakin heran.
“Iya, Mas setelah Inggris menyingkir dari Jawa, Gubernur Jenderal Hindia Belanda meminta Meester Roubert untuk pindah kemari dia ditempatkan disini untuk mengawasi pembangunan di Buitenzorg.”
“Lho, lho Pak? Bukannya Inggris sudah lama tidak ada di Indonesia?”
“Indonesia, mas? Apa itu? Nama daerah baru?” tanya pria itu. Ryan semakin cemas dan gusar dengan keanehan disekitarnya. Ada apa dengan dunia mereka? Ini seperti kembali ke masa kolonial Belanda.
“Indonesia? Itu nama negara ini, Pak? Jangan bercanda! Ini tidak lucu!” bentak Ryan gusar.

“Salah…” tiba-tiba pria itu menjawab dengan pelan.
“Kita baru merdeka pada tahun 1945… Itu masih lama, Mas…”
“Ya, masih 105 tahun dari sekarang…” gumamnya.
“Apa?! Apa-apaan kalian ini?! Ini sudah keterlaluan! Sekarang ini sudah tahun 2010! Bukan zaman Belanda lagi!” Ryan semakin gusar dan ketakutan dengan suasana disekelilingnya apalagi tingkah pria itu tampak aneh.
“Salah… sekarang ini tahun 1840… Tepatnya hari Jumat, 6 November 1840…” jawab pria itu.
“Kenapa bingung, Mas? Inilah jawaban mengapa semua yang ada di daerah ini berbeda dengan saat anda pernah kemari.” Lanjut Pria itu.

Ryan bergidik. Apakah perkataan pria itu memang benar adanya? Memang, jawaban pria itu bisa menjawab rasa penasarannya akan keanehan di gunung itu sejak ia dan Melissa datang kemari. Namun bagaimana mungkin mereka malah terdampar ke masa lampau? Hal itu benar-benar tidak masuk akal!
“Tidak mungkin! Kami pada saat kami datang, tanggal menunjukkan tahun 2010! Mana mungkin kami kembali ke masa lampau!” Ryan.
“Iya, ya… Benar Mas… 169 tahun dari hari ini kita bertemu…” ujar pria itu
“A… apa?”
“Ya, 169 tahun lagi. Saya bertemu Mas dan kekasih Mas saat saya mengambil kayu bakar…” gumamnya
“Mas… si… siapa nama Mas?” tanya Ryan penasaran dan diliputi oleh rasa ngeri.
“Sapto” ujar pria itu dengan santai. Ryan benar-benar ketakutan dan kebingungan saat mendengar nama Sapto, lelaki tua yang ditemuinya tadi sore bersama Melissa.

“Saya dikutuk untuk mencari pendamping hidup Tuan Roubert… Saya pun berkelana melintasi waktu… mencari wanita yang tepat untuk Tuan Roubert…” tiba-tiba suara Sapto berganti menjadi serak, persis suara pria tua yang mengarahkan Ryan dan Melissa ke villa itu; Kek Sapto.
“Ya, setiap 10 tahun sekali, pada hari Jumat pertama bulan ketiga, waktu di daerah ini akan kembali berputar tepat ke tanggal 6 November 1840 selama 6 jam sejak pukul 1 siang akibat kutukan itu. Saat itulah tugas saya untuk mencari seorang wanita untuk diberikan pada Tuan Roubert.” Terang Sapto.
“Saya akan menuntun wanita itu ke villa ini, dengan demikian, kutukan saya akan terhenti dan waktu akan kembali seperti semula pada hari ini; 6 November 1840…” lanjutnya.
“Ini… imbalan saya… ” Sapto kembali merogoh kantongnya dan mengeluarkan 3 keping uang perunggu Belanda. Ryan benar-benar terkejut. Koin itu sama persis dengan koin yang dilihatnya di tangan Kek Sapto sore tadi! Bedanya hanyalah kepingan ini tidak memiliki karat sebanyak kepingan milik Kek Sapto.
Ryan pun semakin yakin bahwa ini bukanlah sebuah gurauan belaka! Ini memang kenyataan! Ia dan Melissa telah kembali melintasi zaman hingga abad ke-19.

“Jangan khawatir, Mas. Saya yakin, kekasih Mas akan bahagia bersama Tuan Roubert…” ujar Sapto.
“Melissa?” tiba-tiba Ryan teringat akan Melissa yang masih beristirahat di lantai atas. Secepat mungkin, Ryan pun segera berlari untuk kembali menyelamatkan Melissa. Namun belum sempat ia masuk kedalam villa itu, kepalanya serasa dihantam keras oleh suatu benda tumpul dari belakang. Pandangan sekeliling Ryan pun gelap, dan kesadarannya menghilang bersamaan dengan rubuhnya tubuh Ryan yang pingsan ke tanah. Sementara itu, Sapto tampak menyeringai dengan sepotong balok kayu yang berada di genggamannya.
“Terima kasih, Mas. Penantian saya selama 169 tahun akhirnya berakhir sekarang… Sekarang saya bisa beristirahat dengan tenang…” ujar Sapto sambil tersenyum puas. Perlahan-lahan, tubuh Sapto menghilang, seolah pasir yang tertiup oleh dinginnya angin malam itu; meninggalkan Ryan yang masih pingsan.

Waktu pun berlalu. Saat tersadar, Ryan merasakan hawa hangar di sekujur tubuhnya dan aroma lilin yang terbakar tampak memasuki indra penciumannya. Ada dimanakah dirinya? Ryan perlahan-lahan membuka matanya, samar-samar Ryan melihat dirinya sedang berada di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh lilin-lilin yang menyala sebagai penerangan. Ditengah ruangan itu, terdapat sebuah meja besar yang mirip dengan altar. Meja itu ditutupi dengan sehelai kain putih dan 2 buah bantal putih diletakkan diatasnya. Terdapat sebuah cermin besar di hadapan meja itu, sementara lukisan Cerenia terpampang dihadapan Ryan.
Ryan berusaha menggerakkan tubuhnya, namun sama sekali sia-sia. Dilihatnya tangannya tampak terikat oleh rantai sehingga tubuhnya tertempel pada dinding ruangan itu.

Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dan tampaklah Agatha memasuki ruangan itu. Agatha kini tampak memakai sehelai jubah panjang yang memiliki tudung. Namun tudung kepalanya tidak terpasang
“Tepat waktu. Anda sudah sadar rupanya…” gumam Agatha.
“Nek… nenek… apa yang terjadi? Saya… ada dimana?” tanya Ryan penasaran.
“Anda masih di villa.” Jawab Agatha singkat.
“Mel… Melissa… dia ada dimana? Dimana Melissa?” tanya Ryan.
“Meisje Melissa? Tenanglah, dia akan segera kemari.”
“Lepaskan… Lepaskan kami!” seru Ryan, namun Agatha tampak tenang. Ia menyentuhkan jari telunjuknya ke bibirnya.
“Ssh! Jangan ribut! Kami akan melakukan ritual, lebih baik kamu diam saja dan tidak macam-macam. Perhatikan dengan baik!” ujar Agatha. Agatha lalu mengeluarkan sebuah buku yang tebal dibalik jubahnya, dan meletakkan buku itu diatas meja altar. Agatha juga mengeluarkan sebuah cawan emas dan sekeranjang kelopak bunga merah dari balik meja itu.

“Bagaimana? Apa semua sudah siap? Agatha?” tiba-tiba terdengar suara Roubert yang memasuki ruangan. Tidak berbeda jauh dengan Agatha, Roubert mengenakan jubah yang berbentuk mirip mantel yang juga memiliki tudung kepala.
“Semua sudah siap, Meester. Kita bisa mulai kapan saja!” jawab Agatha mantap.
“Bagus! Melissa, kemarilah!” seru Roubert.

Terdengar suara langkah kaki pelan yang memasuki ruangan itu. Ryan tertegun sejenak melihat penampilan Melissa. Melissa mengenakan sehelai kain sutra tipis berwarna putih yang dililitkan mengelilingi dadanya untuk menutupi kedua payudaranya yang mungil. Melissa mengenakan sebuah rok sutra putih sepaha yang tampak lembut seperti kain sutra pada payudaranya. Dengan lapisan-lapisan kain dalam rok yang halus, rok itu tampak berbentuk seperti sebuah kuncup bunga mawar putih yang terbalik. Dengan busananya itu, perut Melissa yang rata dan pinggangnya yang langsing dan mulus beserta pusarnya terpampang jelas amat menggoda. Kepala Melissa dihiasi dengan bando dari rangkaian bunga sutra berwarna putih.
Ryan benar-benar terpesona melihat penampilan kekasihnya itu, matanya tak henti-hentinya memandangi tubuh Melissa. Penampilan Melissa yang feminin itu memberinya sebuah aura lain yang mempesona hati Ryan. Apalagi busana sutra Melissa itu begitu minim sehingga menampilkan lekuk tubuhnya yang indah.

“Nah, Melissa. Berbaringlah disana.” Ujar Roubert memberi perintah pada Melissa sambil menunjuk kearah meja yang terpampang dihadapan Ryan. Melissa hanya mengangguk pelan tanpa merespon lebih lanjut. Perlahan-lahan Melissa mengangkat kakinya dan mulai menaiki meja itu, Ryan tampak membelalak saat melihat sekilas selangkangan Melissa yang tampak polos; rupanya Melissa sama sekali tidak mengenakan celana dalam. Melissa segera membaringkan dirinya diatas meja itu. Tatapan mata Melissa sama sekali kosong, seolah tidak tercermin bayangan di bola matanya.

Ryan tersadar dari lamunannya saat melihat Melissa yang tampak seolah seperti terhipnotis.
“Apa-apaan… ini… Nek?” tanya Ryan pada Agatha, namun Agatha hanya diam tak bergeming.
“Mel? Kamu kenapa… Mel? Kamu baik-baik saja?” tanya Ryan dengan cemas pada Melissa. Namun Melissa sama sekali tidak merespon Ryan, seolah ia sama sekali tidak mendengarkan suara Ryan. Melissa hanya terbaring diam menatap langit-langit tanpa bergerak sedikitpun.

Tiba-tiba, Roubert menghampiri Ryan, dalam sekejap, ia mendaratkan sebuah tinjuan di rusuk Ryan.
“ARGH!” Ryan mengerang, tulang rusuknya terasa patah dan Ryan pun terkulai lemas tanpa daya. Ryan berusaha untuk memanggil Melissa kembali, namun suaranya tidak mampu keluar akibat rasa sakit yang melanda rusuknya itu.

Saat melihat bahwa Ryan berhasil dibungkam, Roubert kembali berjalan menghampiri Melissa yang terbaring diatas meja itu.
“Agatha, ayo kita mulai.” Ujar Roubert sambil menutupi kepalanya dengan tudung mantel yang ia kenakan. Agatha mengangguk menjawab perintah Roubert dan ikut menutupi kepalanya dengan tudung jubahnya.

Roubert lalu berdiri didepan tubuh Melissa yang membujur lurus dihadapannya. Ia bisa melihat paha mulus Melissa yang indah terpampang dihadapannya beserta tubuh proporsional milik Melissa yang tampak indah dan menggoda dengan balutan busana sutra yang minim itu.
Agatha mengambil keranjang yang berisi kelopak bunga merah dan menebarkannya ke sekeliling tubuh Melissa sambil mengumandangkan mantra-mantra aneh, sehingga tercium aroma bunga yang wangi semerbak memenuhi ruangan itu.

Sementara itu, Roubert mencengkeram mata kaki Melissa dan merentangkan kedua kaki Melissa ke kedua sudut meja itu sehingga Melissa terbaring dengan kaki yang membuka lebar. Roubert lalu meletakkan sebuah liontin emas kedalam genggaman tangan Melissa. Kedua tangan Melissa lalu diletakkan diatas dadanya dengan masih mencengkeram liontin itu.

Setelah seluruh bunga di keranjang itu selesai ditaburkan, Agatha lalu berdiri didepan tubuh Melissa yang terbaring, tepat diatas kepala Melissa. Agatha menuangkan sebuah ramuan ke cawan emas dan meletakkan cawan itu di dahi Melissa sejenak, sebelum menyerahkannya kepada Roubert. Roubert mereguk setengah dari isi cawan itu dan meminumkan sisanya pada Melissa.
Melissa meminum isi cawan itu, ramuan dalam cawan itu menyirami tenggorokannya yang kering dan menyisakan rasa ramuan itu yang manis bercampur sedikit pahit.

“A… aah…” Melissa merintih pelan saat perlahan-lahan dadanya terasa sesak dan seolah terbakar. Jantungnya berdegup semakin kencang dan keringat Melissa mulai mengucur.deras dari tubuhnya. Seolah beresonansi dengan detak jantung Melissa, liontin dalam genggamannya juga terasa memancarkan hawa hangat dan terasa sedikit bergetar. Raut wajah Melissa mulai terlihat gelisah dengan keadaan tubuhnya itu.

Saat melihat bahwa Melissa sudah mulai bereaksi dengan ramuan yang diminumkan kepadanya, Agatha lalu meletakkan buku tebal yang tadi dikeluarkannya dan mulai menggumamkan mantra-mantra yang tertera di buku itu. Perlahan-lahan, Melissa merasa tubuhnya semakin memanas, permukaan kulitnya terasa menipis dan syarafnya kian sensitif akan sentuhan. Seolah ada suatu tekanan yang mengikat tubuhnya diatas meja itu dan ada sensasi aneh yang hendak keluar seiring dengan lafalan mantra Agatha.

“Ah!” Melissa mendesis terkejut sesaat ketika Roubert mulai menjelajahkan tangannya meraba paha mulus Melissa yang ada dihadapannya. Melissa tampak agak bergidik sejenak, kulitnya kini terasa amat sensitif dengan sentuhan dan rabaan tangan Roubert yang menimbulkan rasa geli disekujur kakinya.
Perlahan-lahan, rabaan tangan Roubert semakin naik menelusuri paha Melissa terus hingga ke selangkangan gadis itu.

Ryan berusaha berontak, namun rasa sakit di rusuknya membuatnya tidak mampu berbuat banyak selain menyaksikan tangan-tangan Roubert yang leluasa menjamah tubuh Melissa dihadapannya. Ryan hendak berteriak, namun untuk bernafas saja sudah cukup susah baginya saat ini dengan tulang rusuknya yang patah itu.
“Nggh…” Melissa menggigit pelan bibirnya saat Roubert mulai menyusupkan tangannya kedalam roknya. Roubert bisa merasakan permukaan vagina Melissa yang halus dan polos tanpa rambut-rambut kemaluannya lewat rabaan jarinya. Ia lalu membungkuk sejenak, melihat kedalam rok Melissa. Roubert bisa melihat jelas keadaan didalam rok Melissa karena posisi kaki Melissa yang membuka lebar; ia tampak tersenyum saat melihat jari-jarinya yang kini sudah menyentuh vagina Melissa.

Roubert lalu menyingkap rok Melissa keatas dan kini vagina gadis manis itu terpampang jelas dihadapannya. Ryan juga bisa melihat telapak tangan Roubert yang sedang meraba vagina Melissa.
“Ngh… Ssh…” Melissa mendesis pelan saat Roubert mengelus pelan permukaan vaginanya. Wajahnya tampak agak merah padam menahan rasa geli yang amat terasa melanda daerah vaginanya akibat syarafnya yang terasa lebih sensitif itu.

Lama kelamaan, elusan Roubert itu membangkitkan gairah Melissa, dan daerah vagina Melissa mulai tampak sedikit basah karena cairan cinta yang mulai keluar dari vaginanya.

Roubert tersenyum saat melihat jarinya yang kian basah oleh cairan cinta Melissa. Dengan pelan, Roubert mulai meraba tepian celah vagina Melissa dan membuka celah vagina Melissa dengan jari-jarinya.
“Mmh… ahh…” Melissa hanya mendesah pelan saat celah vaginanya itu dibuka oleh Roubert.
Roubert lalu meletakkan jari telunjuknya dicelah-celah vagina Melissa. Ia mulai memasukkan jarinya dengan pelan kedalam vagina Melissa.

“Ja… ngan… Mel…” Ryan yang menyadari apa yang akan dilakukan oleh Roubert berusaha mencegah Roubert, namun ia tidak mampu berkata dengan jelas. Hanya perkataan yang terpatah-patah saja yang mampu ia ucapkan.

“Egh… AAAH!” Tiba-tiba terdengar suara jeritan pilu Melissa saat jari telunjuk Roubert terbenam dalam liang vaginanya. Walaupun Melissa sudah tidak perawan lagi karena pernah berhubungan seks dengan Ryan, namun ia masih bisa merasakan rasa perih karena penetrasi awal jari-jari Roubert yang mendadak. Rasa perih di vaginanya terasa amat menyiksa dengan syarafnya yang sensitif itu dan tak pelak, air mata Melissa berlinang keluar dari bola matanya yang bening.

“Bagaimana, Meester?” tanya Agatha sambil berhenti membacakan mantranya sejenak.
“Dia sudah tidak perawan lagi… Tidak masalah, lanjutkan mantra berikutnya, Agatha.” Tutur Roubert. Agatha membuka halaman baru dalam bukunya dan melanjutkan pembacaan mantranya itu.

Roubert mulai menggerakkan jarinya maju-mundur di liang vagina Melissa dengan pelan untuk menyesuaikan Melissa dengan jari didalam vaginanya itu.
“Ng… aah…” Melissa mendesah pelan seiring dengan permainan jari Roubert di vaginanya, posisi tubuhnya sama sekali tidak berubah. Ia tetap mencengkeram erat liontin itu dengan kedua tangannya yang diletakkan diatas dadanya sementara kakinya tetap membuka lebar. Mantra-mantra yang diucapkan Agatha seolah merantai tubuh Melissa di atas meja itu dengan rantai besi yang kuat.

Roubert membenamkan jarinya sedalam mungkin didalam liang vagina Melissa. Sejenak ia bisa merasakan rasa hangat yang menyelimuti jarinya dan rasa lembut didalam vagina Melissa. Ia lalu menggerakkan jarinya meliuk-liuk didalam vagina Melissa.
“Awh… ah…” Melissa kembali merintih saat ia merasakan jari tangan Roubert yang menggeliat-geliat didalam vaginanya. Perlahan-lahan, muncul rasa nikmat yang melanda vagina Melissa akibat pergerakan jari Roubert didalam vaginanya itu dan mulai melenyapkan rasa perih yang tadi sempat melanda vaginanya.

“Haah? Nggh…” Melissa sedikit terkejut saat lubang pipisnya kembali dipaksa membuka untuk menerima jari tengah Roubert. Perlahan-lahan, jari tengah Roubert pun ikut menyusul membenam didalam vagina Melissa diiringi dengan rasa sakit dan sedikit nikmat yang merasuk kedalam syaraf otak Melissa. Kini vagina Melissa berhasil dimasuki oleh dua jari Roubert sekaligus. Jepitan dalam liang vagina Melissa terasa semakin erat akibat ransangan dari penetrasi jari tengah Roubert dan karena liang vaginanya yang masih agak sempit untuk menerima kedua jari yang gemuk itu.

“Lihat, vagina kekasihmu memang luar biasa!” puji Roubert sambil mendorong paha Melissa sedikit keatas sehingga kaki Melissa semakin membuka lebar. Ryan pun bisa semakin jelas melihat vagina Melissa yang dimasuki dua jari Roubert itu. Roubert terus mengamati kewanitaan Melissa dengan seksama seperti seorang anak kecil yang penasaran. Roubert mendesakkan jarinya sedikit menekan vagina Melissa. Akibatnya, Melissa pun mengejang sesaat.

“Hmm, bagian dalamnya masih bagus dan terawat dengan baik, walaupun dia sudah tidak perawan lagi.” gumam Roubert. Roubert mengarahkan telapak tangan kirinya ke vagina Melissa.
“Hngh… Awh!” Melissa kembali merintih terkejut saat ia merasakan sengatan rasa nikmat dari vaginanya, rupanya Roubert menyentuh klitoris Melissa dengan jarinya. Roubert pun mulai menggesek klitoris Melissa dengan jarinya sementara kedua jarinya yang terbenam dalam kewanitaan Melissa digerakkannya maju-mundur. Akibatnya, rasa nikmat yang terasa geli itu seolah meresap hingga ke tulang-tulang Melissa. Ya, dengan permukaan kulitnya yang kini terasa amat sensitif dengan sentuhan, rasa nikmat saat klitorisnya disentuh terasa berlipat ganda bagi tubuh Melissa.

“Meester, mohon agar anda mempercepat prosesi kita ini. Saya sudah hampir selesai membaca mantra ini.” Ujar Agatha.
“Baik, saya mengerti.” Ujar Roubert. Roubert segera mempercepat gerakan jarinya di liang vagina Melissa. Akibatnya, Melissa melolong-lolong keras saat desiran rasa nikmat dari vaginanya terus-menerus menerpa seluruh syaraf tubuhnya hingga kedalam sumsum tulangnya. Apalagi gerakan jari Roubert yang semakin kencang menggesek klitorisnya; tak pelak, cairan cinta Melissa pun membanjir keluar dari vaginanya saat menerima ransangan dan kenikmatan yang bertubi-tubi itu.

“Ooh! oh…! aah…” Melissa mendesah-desah penuh kenikmatan. Wajahnya tampak merah padam merasakan kenikmatan dalam gerakan Roubert itu. Jantung Melissa kian berdebar-debar dan dadanya terasa hendak meledak. Nafas Melissa pun kian memburu.

“Mel… lissa… Sadar Mel! Sadar!” Ryan mengumpulkan seluruh tenaganya untuk berteriak memanggil Melissa. Tiba-tiba, kesadaran Melissa kembali sejenak, walaupun kesadarannya mulai terkalahkan kembali oleh rasa nikmat di vaginanya. Apalagi tubuhnya terasa sesak dan sama sekali tidak bisa digerakkan karena mantra Agatha.
“Aah…! Ahh! Aaaa…” kepala Melissa tampak mendongak menahan desakan rasa nikmat di vaginanya yang siap meledak. Dengan kesadaran pikirannya yang terakhir, Melissa tetap berusaha untuk menahan ledakan kenikmatannya itu.
“Sebentar lagi… Ayo… cepatlah! Untuk apa kamu menahan diri?” pinta Roubert dengan terburu-buru.
“Akh… Ry… Ryaan… Oh… Aaa…” ujar Melissa terbata-bata. Roubert dan Agatha tampak terkejut saat menyadari kesadaran Melissa yang mulai pulih.
“Maaf, Meester. Mungkin pencucian otaknya belum sempurna seutuhnya.” ujar Agatha.
“Tidak apa, asalkan kita berhasil membuatnya orgasme. Semua akan berjalan lancar!” lanjut Agatha.

Mendengar ucapan Agatha, Roubert kian bersemangat merangsang Melissa. Gerakan jarinya kian liar didalam vagina Melissa dan terdengarlah suara becek dan basah yang semakin kencang diiringi dengan desahan-desahan Melissa. Melissa semakin terdesak, kesadarannya kembali mulai menghilang ditelan oleh sensasi rasa nikmat vaginanya. Ryan pun tidak mampu berteriak lagi karena rasa sakit di rusuknya kian menjadi setelah ia berhasil memanggil Melissa sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar