Daftar isi

Rabu, 11 Januari 2012

Setelah Kepergian Kekasihku

Awalnya, saat Dana (panggilan akrabku kepadanya) yang akan berangkat ke Australia untuk melanjutkan pendidikannya. Dana memang seorang cewek yang cukup cerdas dan tergolong masih lugu, sangat kontras dengan saya yang hanya memiliki IQ cukup-cukup makan saja dan teman-temanku menyebutku si nakal. Saya berkerja pada sebuah perusahaan BUMN, hubungan kami terjalin saat saya belum bekerja.

Dana sebenarnya ingin melanjutkan pendidikannya di Yogjakarta, namun karena ayahnya kurang setuju dengan hubungan kami, dengan terpaksa dan akhirnya satu-satunya jalan diambil ayahnya Dana untuk memisahkan kami. Ayahnya menyekolahkannya ke luar negri, yaitu ke Australia.
“Bang Ir, rasanya saya tak tahan pisah jauh dan…” isak Dana ketika kami duduk berdua di taman belakang rumah saya.
“Sudah suratan tangan kita barangkali.., tapi percayalah, dimana ada kemauan, disitu ada jalan…” balasku sambil membelai rambutnya yang terurai indah.
Dana tiba-tiba menarik saya ke dalam kamar pribadiku. Mungkin karena rasa yang mendalam yang membuatnya seperti itu. Mulanya saya heran dengan apa yang ada dibenak Dana. Rasa heranku hilang ketika Dana menciumku sambil berusaha membuka celana panjangku.

Terus terang, selama kami berpacaran, hanya sebatas ciuman dan pelukan saja yang kami lakukan. Entah kenapa dengan Dana saat ini, saya tidak nekat berbuat lebih dari seperti apa yang pernah saya lakukan dengan cewek lainnya.
“Bang, Dana ingin menyerahkan apa yang selama ini kita jaga…” dengan pelan tapi pasti, Dana seolah berbisik, sambil membuka pakaian luarnya.
Melihat tubuh Dana yang bahenol dan mulus putih, kawan lahirku (alias batang) terbangun dari tidurnya yang lelap selama ini.

Singkat cerita, setelah kami satu jam lebih melanglang buana dalam gairah percintaan, tubuhnya mengejang pertanda akan mencapai klimaksnya, dan saya masih tetap setia melayaninya. Tidak berapa lama saya menyusul dan kami berdua pun terkulai di ranjang yang sudah tidak beraturan lagi. Kami berdua terhanyut dalam rasa nikmat yang selama ini kami jaga agar tetap menjadi hal yang sangat berharga untuk hari pernikahan kami. Benar-benar pengalaman yang indah yang saya pernah lakukan, apalagi Dana masih perawan, dan memang dengan sedikit usaha yang keras, akhirnya kami berdua dapat melaluinya.

Aku tersentak, dan melihat jam bekerku menunjukkan pukul 12:16 WIB.
“Dan, bangun… sudah jam dua belas lewat, nanti telat berangkatnya…” sentakku sambil menggoyangkan lengannya yang masih terkulai di atas dadaku.
“Mmm…” suara Dana terdengar lemas.
“Ayo bangun, sayang…” kataku sekali lagi.
“Iya, Bang Ir, aku sayang kamu…” katanya seraya mengambil pakaian, dan saya pun juga demikian.
Pukul 12:40 WIB, kami telah tiba di rumah Dana, jarak rumah kami terpaut kurang lebih 45 Km. Setelah Dana masuk ke rumahnya, saya langsung mengarahkan speda motor saya ke tempat yang telah kami janjikan, agar saya dapat mengantarnya ke bandara udara. Jarak bandara udara ke rumahnya tidak jauh. Singkatnya kami pun berpisah, kulihat wajahnya memerah untuk terakhir kalinya sebelum naik tangga pesawat. Berat hatiku melepasnya, apalagi setelah apa yang baru saja kami lakukan berdua di kamarku.

Dalam perjalan pulang, saya dihadang seorang wanita muda dengan sedan Soluna warna perak di sampingnya. Kelihatannya mobilnya sedang mogok.
“Mas, tolongin saya dong…” jeritnya.
Setelah saya perbaiki, saya pun pamitan padanya.
“Eh… eh… Mas, jangan pergi dulu, saya ingin tanya alamat..!” katanya sambil menarik tangan kiriku yang sudah memegang stang sepeda motorku.
Dia menawari saya untuk bisa mengantarnya ke rumahnya, karena dia takut kalau-kalau mobilnya ngadat lagi di jalan.

Pendek cerita, kami pun sampai pada alamat yang dituju. Sebuah rumah tergolong mewah dengan tamannya yang terawat rapih menghiahi halaman yang cukup luas. Di rumah tersebut hanya ada seorang pembantu dan seorang pengurus taman. Rumah tersebut milik suami wanita muda tersebut. Barangkali sebagai rasa ucapan terima kasihnya padaku, wanita tersebut mengajakku masuk dan menawarkan saya minum. Karena rasa lelah dan haus sehabis membenarkan mobilnya, tawaran tersebut tidak saya tolak.

Suaminya bernama Iyan. Suami wanita tersebut sudah dua hari tidak pulang, mengurus proyeknya di luar kota. Begitulah informasi yang disampaikan Sinta, pembantu di rumah tersebut. Kety merupakan isteri simpanan Iyan.

“Mau minum apa, Mas..? Oya kita belum saling kenalan. Nama saya Kety..,” sapanya sambil mengulurkan tangan ke arahku untuk salam perkenalan.
“Irsan..,” balasku singkat sambil menyalami tangannya yang mulus dan lembut itu.
Setelah sekian lama kami mengobgrol, ternyata umurnya sama dengan saya, hanya berbeda dua bulan saja.

Mungkin karena kelelahan, sambil berbincang-bincang, Kety merebahkan badannya dengan posisi kaki lurus di atas kursi panjang. Tanpa disadari olehnya, roknya tersibak, sehingga dengan tidak sengaja mataku melihat pahanya yang putih dan tampaknya berisi. Rupanya Kety sudah dari tadi mengawasi mataku yang sering singgah ke arah pahanya, tapi dia malah tersenyum.

Cukup lama kami berbincang-bincang, tidak berapa lama, saya merasakan ingin buang air kecil.
“Ket, kamar kecilnya sebelah mana..?” tanyaku setengah kebelet setelah minum dua gelas air.
“Masuk saja dari kamar sebelah sana… terus belok kanan…” jawabnya sambil menunjuk arah kamar tengah.
Tanpa pikir panjang lagi, aku pun beranjak dari tempat duduk. Tidak terasa, ternyata celana dalamku telah basah oleh tetesan air maniku akibat melihat paha Kety tadi. Aku tersentak ketika keluar dari kamar kecil, ternyata Kety telah merebahkan badannya di ranjang kamar dimana saya buang air dalam keadaan hanya memakai celana dalam dan BH saja. Dalam hatiku bercampur aduk. Antara ingin pulang karena merasa tidak etis dan keinginan untuk menikmati pemandangan indah ini.

“Ket, saya pamit dulu, sudah hampir malam, terima kasih atas layanannya,” kataku sambil melihat tubuh indahnya setelah mempertimbangkan untuk pulang saja.
“Mas.., kok buru-buru, kita kan belum cerita banyak. Duduklah dulu disini…” sambil menawarkan tempat di sampingnya.
Karena merasa tidak diijinkan pulang, akhirnya kami pun kembali melanjutkan obrolan kami.
“Mas, tolong ambilkan minyak gosok di rok saya..!” pintanya.
“Ini…” kataku sambil mengulurkan tangan untuk memberikan minyak gosok tersebut kepadanya.
“Tolong gosokin dong Mas..! Kaki Kety… lemes.” pintanya memelas.

Segera saja tongkat warisan (alias alat vital saya) terbangun, ketika tanganku mulai merambat ke pangkal pahanya, apalagi ketika terdengar desahan Kety yang menggairahkan. Karena tidak tahan akan gairahnya, Kety tiba-tiba menarik badan saya dan kami pun berciuman sambil bergumul. Rabaan demi rabaan membuat kami semakin menerawang. Karena tidak tahan lagi, kami saling membuka pakaian dalam kami. Kugenggam gumpalan dua buah dagingnya yang masih kenyal dan putingnya pun tampak masih merah itu, mungkin karena saling berjauhan dengan suaminya selama ini sehingga kurang mendapatkan perhatian yang lebih.

“Em.., em.., emmhh…” desahnya mendalam ketika tangan kananku serta mulutnya menikmati gumpalan daging tersebut, sementara tangan kiriku merayap menggengam gumpalan daging bawah Kety yang ditumbuhi bulu yang lumayan lebatnya.
Satu jam kami menerawang ke dunia lain sampai akhirnya, “Mas, masukkaaaan.., udah takkk… tahan lagi…” pintanya.
Aku pun siap untuk melayani permintaanya. Pelan-pelan saya memasukkan tongkat warisanku ke dalam lembah Kety yang telah kembang kempis mengharapkan hantaman dahsyatnya senjataku.

“Akhhh.., akhhh.., lebih cepat Mas..,” pinta Kety sambil membantu genjotanku dengan menarik kuat-kuat punggungku.
“Akhhh.., akhhh…” kali ini Kety tanpa sadar berteriak keras, pertanda sudah sampai pada klimaksnya.
Kurubah posisi, Kety kuarahkan untuk telentang dan kuangkat pinggulnya sedikit. Pelan-pelan kumasukkan tongkat warisanku ke dalam lembah Kety yang menawan itu.
“Cleekkk.., cleeekkk…” terdengar cairan dari dalam lembah Kety ketika tongkat tersebut masuk.
“Akhhh… emmmm..,” desahnya sambil meremas seprei warna merah muda bercorak karena menahan gairah yang dirasakannya.
Untuk kedua kalinya Kety mencapai klimaksnya, ketika itu, aku pun tidak tahan lagi untuk mengeluarkan maniku.
“Ket.., aku mau keluuuaaarrr…”.

Setelah masing-masing mencapai klimaksnya, kami terbaring lemas dan sekujur badanku basah oleh keringatku. Tanpa terasa, jam dinding ruang tamu berbunyi sembilan kali, pertanda telah menunjukkan pukul sembilan malam.

“Saya pamit dulu yah…?” kataku sambil beranjak mengambil pakaian dalamku di lantai.
“Mas, disini saja bermalam.” kata Kety sambil berusaha menarik tangan kananku.
“Nanti suamimu datang, gimana dong Saya..?” timpalku.
“Mas Iyan paling besok sore baru datang.”
“Kalau ketahuan sama pembantu bagaimana..?”
“Sudah Saya katakan bahwa Mas adalah Abang kandungku dari Medan.”
“Mas, Saya tidak pernah mengalami nikmat seperti ini, Punya Mas cukup panjang dan besar dibanding punya Mas Iyan. Mas.., tidak keberatan kan kalau kita ulangi lagi nanti..?” pintanya.
Aku tertegun sejenak kemudian menjawabnya, “Boleh aja, asal jangan sampai tercium sama orang lain setelah ini.”

Akhirnya saya memutuskan untuk menginap semalam di rumahnya. Tengah malam dan bangun pagi kami pun mengulanginya lagi kegiatan percintaan kami, sampai akhirnya saya pamitan kepadanya.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar