Daftar isi

Senin, 09 Januari 2012

Dendam Erny, Derita Vivi-1

“Apa artinya ini Mas?!!” terdengar suara teriakan wanita bernada keras menggema di ruang tamu sebuah rumah mewah.
“Ya, saya harap kamu mengerti dengan pilihan saya ini.” Tutur seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk diruang tamu itu bersama seorang wanita dengan kemarahan yang terpancar jelas diraut wajahnya.

“Bagaimana dengan pernikahan kita selama ini Mas?! Bagaimana dengan Joanna dan Jonny?! Apa Mas tidak kasihan dengan mereka?! Mereka itu anak-anak kita, Mas?!” sahut wanita itu berusaha memberi pengertian bagi suaminya itu.
“Bukan begitu, Erny. Saya minta pengertianmu tentang perasaan saya. Sudah lama saya merasa tertarik dengan Vivi, lagipula dia cukup akrab dengan anak-anak kan? Pastinya tidak ada masalah kalau saya menikahinya”
“Jadi, maksudnya selama ini saya dimadu? Begitu?! Teganya kamu… Mas Johan… Teganya kalian!”” Erny berteriak penuh kemarahan.

“Bukan, bukan begitu! Saya merasa dengan kehadiran Vivi, keluarga kita akan semakin lengkap. Bukannya kalian juga berteman baik dari dulu? Seharusnya kamu mendukung pernikahan kami!” jelas Johan berusaha untuk menenangkan amarah Erny.
“Enak saja! Alasan apa itu?! Bagaimana dengan perasaan saya?! Saya sudah mendukung Mas selama 10 tahun sejak kita menikah! Dari saat Mas Johan masih bekerja sebagai pegawai rendahan sampai jadi manajer seperti sekarang!! Ini balasan Mas Johan untuk kesetiaan saya selama ini?!”

“Bukan begitu! Saya hanya minta agar kamu mengerti dengan perasaan saya ini! Apakah itu susah sekali?! Lagipula wanita yang saya pilih bukan orang asing! Kalian juga sudah mengenal Vivi dari dulu! Vivi itu wanita baik-baik! Kamu sebagai seorang istri seharusnya bangga karena suamimu ini masih pengertian dengan kalian! Laki-laki lain pasti sudah menceraikan istri yang tidak mau menuruti suami seperti kamu!” Bentak Johan dengan nada marah karena kehilangan kesabaran.

Malam itu benar-benar malam yang terburuk bagi Erny dalam kehidupan rumah tangganya dengan suaminya, Johan. Bagaimana tidak, setelah 10 tahun membina rumah tangga bersama, Erny tidak pernah menyangka bahwa suaminya itu telah berselingkuh dengan seorang wanita yang tak lain adalah sahabat masa kecil Erny, Vivi.

Memang banyak rumor yang beredar kalau Johan berselingkuh dengan seorang wanita muda, namun Erny menaruh kepercayaan penuh pada Johan dan tidak menghiraukan rumor itu sama sekali. Namun semua kesetiaan Erny terbukti keliru dengan pernyataan Johan malam itu yang memberitahu rencana pernikahannya secara mendadak pada Erny. Erny masih tidak percaya bahwa suaminya, Johan, memang telah berselingkuh dan lagi mengakui cintanya terhadap wanita lain itu. Fakta bahwa wanita yang hendak dinikahi oleh Johan itu adalah sahabat karib Erny sendiri kian membuat hati Erny membara dan hancur.

“Kalau begitu… Mas Johan boleh memilih! Kalau Mas menikahi Vivi, saya dan anak-anak akan angkat kaki!” ancam Erny. Dilubuk hatinya yang terdalam, Erny berharap agar ancamannya ini dapat mengurungkan niat Johan untuk menikah lagi dan sekaligus untuk menguji apakah masih ada rasa cinta Johan padanya.

“Kalau begitu, kamu juga boleh memilih! Hidup bersama saya dan Vivi atau silahkan kamu bawa semua barang-barangmu dan keluar dari sini! Saya tidak akan berhubungan lagi denganmu! Lagipula Joanna lebih suka dengan Vivi dibandingkan kamu!” Johan kembali membentak Erny dengan nada keras.

Jawaban Johan yang disampaikan lewat bentakan itu langsung menghancurkan hati Erny berkeping-keping.
Pikiran Erny berkecamuk dalam hatinya.
Memang, kalau dibandingkan dengan Erny yang sudah berusia 30 tahun, Vivi yang masih berusia 23 tahun sangat berbeda jauh. Bukan hanya lewat perbedaan umur saja, namun Vivi yang memang berparas amat cantik itu bisa dikatakan mengalahkan Erny di berbagai bidang. Jelas, tubuh indah milik Vivi yang langsing dan padat dengan tinggi 162 cm yang proporsional amat kontras dengan tubuh Erny yang gemuk sehabis melahirkan Jonny, anak keduanya dengan Johan. Terlebih lagi, dengan sikap Vivi yang feminin dan baik hati itu terkadang membuatnya lebih disukai dibandingkan Erny oleh Joanna, anak pertama Erny yang baru berusia 6 tahun.

Walaupun sikap Joanna itu kadang melukai perasaan Erny sebagai seorang ibu, Erny tidak begitu menggubris sikap Joanna pada Vivi, mengingat persahabatan Erny dan Vivi sejak kecil. Ya, pada waktu mereka masih kecil, Vivi adalah tetangga Erny, karena perbedaan usia mereka itulah, Erny sering merawat Vivi yang saat itu masih bayi, bahkan Erny sudah menganggap Vivi seperti adiknya sendiri. Ia turut menyaksikan pertumbuhan Vivi dari seorang anak kecil menjadi seorang wanita muda yang amat cantik.

Hati Erny kian tersayat-sayat mengingat bagaimana ia merawat Vivi dulu layaknya seorang kakak pada adiknya; ironisnya, sahabatnya itu kini justru akan merebut suaminya sendiri dari tangannya. Betapa kejinya balasan yang ditimpakan Vivi padanya, pikir Erny.

“Saya akan memberimu waktu untuk berpikir, toh pernikahan kami baru dilaksanakan bulan depan. Tapi ingat, saya tidak akan merubah pikiran saya. Keputusan saya sudah bulat dan saya akan tetap menikahi Vivi, terserah apa kamu suka atau tidak!” tegas Johan seraya berlalu masuk kedalam kamar.

Seketika itu pula Erny ambruk ke lantai dan menangis tersedu-sedu menyadari bahwa cintanya telah dikhianati oleh Johan. Untunglah Joanna sedang menginap di rumah teman sekelasnya, sehingga anak itu tidak perlu menyaksikan pertengkaran orang tuanya itu, sementara Jonny masih terlalu kecil untuk mengerti pokok permasalahan Erny dan Johan.

Erny berpikir dengan keras, bisa saja ia meninggalkan rumah itu, namun itu berarti bahwa ia harus menyerahkan kedua anaknya pada Vivi, dan itu tidak lebih dari pengibaran bendera kekalahannya dalam mempertahankan rumah tangganya. Erny berusaha tegar, ia tidak akan menyerah semudah itu. Ia memikirkan masa depan Joanna dan Jonny yang entah bagaimana nasibnya apabila ditinggal olehnya ditangan Vivi. Namun apabila ia bertahan, itu berarti dia harus rela dimadu seumur hidupnya oleh Johan, sesuatu yang tentu saja tidak diinginkan oleh seorang istri yang setia sepertinya.

Mata Erny kian berat, ujian ini begitu sulit baginya, bagaimana rumah tangganya kini terancam hancur karena ulah seorang sahabatnya sendiri, bagaimana nasib anak-anaknya kelak dan bagaimana ia harus melewati hari-hari dengan adanya istri kedua Johan itu.

“AARGHH!!!” PRAANG… Erny mengamuk dan dilemparkannya asbak kaca yang berada dimeja disampingnya ke lantai hingga asbak itu pecah berkeping-keping. Kembali Erny terlarut dalam kesedihannya, saat terbayang masa-masanya bersama Johan dan pertemanannya dengan Vivi, Erny tak kuasa menahan amarahnya lagi. Kini dendamnya membara kepada sahabat yang mengkhianatinya itu.

“Kalau saja dia tidak pernah ada… kalau saja kami tidak pernah berteman… KALAU SAJA AKU BISA MEMBUATNYA MENDERITA!!” demikian gemuruh hati Erny pada Vivi. Tidak ada lagi perasaannya sebagai seorang sahabat bagi Vivi, yang ada kini hanyalah dendam yang mendalam sebagai seorang wanita yang disakiti dan seorang sahabat yang dikhianati.

Erny sadar bahwa untuk membalas dendamnya pada Vivi, ia perlu menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Erny berusaha keras mendinginkan kepalanya yang terbakar oleh amarah dan dendam sambil berusaha berpikir bagaimana caranya untuk memberi pelajaran bagi Vivi.

Membunuh Vivi tentu saja merupakan jalan pintas, namun Erny berpikir apabila hal itu dilakukan, sudah pasti dirinyalah yang pertama kali dijadikan tersangka karena motifnya amat gampang dibaca apalagi menyewa orang untuk membunuh tentunya tidak mudah dan bisa saja menguras banyak biaya. Lagipula Erny lebih menginginkan agar Vivi sengsara dan menderita.
Melukai atau menyiksa Vivi hingga cacat? Itu mungkin ide yang efektif, namun pastinya akan membuat Erny meringkuk ditahanan polisi apabila Johan sampai tahu tentang hal itu. Bisa saja Vivi yang dilukai akan membalas dendamnya pada Joanna atau Jonny.

Kepala Erny kini malah semakin pusing dengan rencananya itu, ia sama sekali tidak bisa menemukan cara yang efektif. Dalam keputusasaannya, Erny mengambil handphonenya dan beranjak keluar dari rumahnya. Erny segera menelepon menghubungi kakaknya, Marny.
“Halo, ada apa, Er?” tanya Marny.
“Kak… tolong bantu saya Kak… Saya sudah tidak tahan…” pinta Erny dengan suara tersedu-sedu. Tentu saja Marny sontak terkejut mendengar suara adiknya itu.
“Lho? Ada apa, Er? Kamu kenapa?!”
“Kak… saya… saya…” Erny kembali terisak menahan tangisnya.
“Sudah, sudah… Er, tenangkan diri dulu ya? Ceritakan apa yang terjadi.” Ujar Marny menenangkan Erny.
Mendengar suara Marny, Erny kembali berusaha untuk mengendalikan diri. Setelah memastikan kalau perasaannya sudah tenang, Erny pun mulai menceritakan duduk persoalan rumah tangganya pada kakaknya itu. Mendengar nasib adiknya itu, sontak Marny naik darah dan emosi, apalagi saat mendengar bahwa Johan hendak mengusir Erny.

“Jadi, rupanya si Vivi itu selingkuhannya Johan?! Mereka mau menikah?!” tanya Marny dengan emosi.
“I… iya Kak…”
“Apa-apaan si Vivi itu?! Bukannya dia itu teman baikmu, Er? Tega sekali dia!! Kakak tidak menyangka kalau dia wanita seperti itu!”
“Makanya kak… Erny sudah tidak tahan… Erny juga tidak sampai pikir kalau Vivi rupanya seperti itu…” ujar Erny terbata-bata.
“Terus, bagaimana rencana kamu?”
“Erny mau balas dendam Kak. Erny tidak rela kalau Vivi yang menikmati semua ini tanpa penderitaan.” Tutur Erny.
“Baguslah, Kakak dukung kalau begitu! Terus, kamu mau apakan si Vivi itu?!” tanya Marny.
“Erny bingung… kak… Kita tidak bisa membunuh atau melukai Vivi… kita bisa dipenjara…”
“Aduuh! Kamu kepikirannya kejauhan! Bukannya ada cara yang lebih gampang?!” gerutu Marny.
“Apa Kak?” tanya Erny bingung.
“Makanya Er, tenangkan diri dulu lain kali.” Jawab Marny.
“Bukannya gampang? Daripada dibunuh atau dilukai begitu, lebih baik kalau kita melukai mental si Vivi saja!” lanjut Marny.
“Maksudnya?”
“Er, suruh saja orang buat memperkosa si Vivi sebelum dia menikah!” cetus Marny.

Pernyataan kakaknya itu seolah seberkas cahaya yang menghapus kebingungan hati Erny. Benar-benar sebuah ide yang luar biasa! Membuat Vivi diperkosa sebelum menikah dengan Johan!
“Mengapa tidak? Tentu saja! Itu cara yang paling baik untuk menaklukkan Vivi!” pikir Erny. Dengan diperkosanya Vivi, tentu saja akan memberi luka mendalam bagi Vivi sementara membuat Johan berpikir bahwa Vivi bukan seorang wanita yang baik-baik karena sudah tidak perawan sebelum menikah. Benar-benar sambil menyelam minum air! Lagipula dengan trauma pemerkosaan itu, pastilah mental Vivi akan goyah dan gampang diintimidasi oleh Erny. Erny yang kenal baik dengan Vivi tahu betul bahwa kepribadian Vivi yang feminin dan agak penakut itu akan membuatnya gampang dikontrol dibawah kendali Erny.

“Benar Kak! Ide kakak bagus sekali! Tapi bagaimana cara melaksanakannyaKak?”
“Tenang sajalah! Kakak yakin kalau banyak laki-laki yang mau kalau kamu bayar untuk memperkosa si Vivi, lagipula si Vivi kan cantik? Malah lebih gampang untuk mencari ‘sukarelawan’?” papar Marny.
“Kalau kamu mau, Kakak bisa mencarikan beberapa orang.” Lanjutnya. Marny lalu memberikan sedikit nasihat untuk Erny dalam merencanakan perangkap itu.

“Boleh Kak! Tolong kakak carikan orang-orang yang bisa dipakai buat si Vivi!” Pinta Erny yang kini tampak ceria, kontras dengan raut wajahnya sebelum menelepon Marny.
“Ya sudah kalau begitu. Jangan sedih lagi ya? Ingat, kalau besok Johan bertanya lagi, jawab saja kalau kamu setuju. Supaya rencana kita bisa berjalan.”
“Iya Kak. Terima Kasih Kak!”
“Iya, kakak tutup dulu ya? Besok kakak akan menyuruh orang-orang yang kakak pilih kerumahmu waktu Johan ke kantor. Kamu siapkan saja tawaran buat mereka.”
“Baik, Kak.”
“Daah, malam ya, Er.”ujar Marny sambil menutup teleponnya, Erny tersenyum sekilas, ide brilian itu amat efisien dan mudah untuk dilaksanakan, sekarang hanya tinggal mempersiapkan semua keperluan agar rencana itu bisa berjalan lancar. Erny segera bangkit sambil tertawa-tawa kecil membayangkan rencananya itu. Erny segera pergi tidur dengan perasaan tidak sabar untuk menunggu kedatangan esok hari.

Pagi harinya, Erny bangun dengan perasaan lega. Erny meregangkan tubuhnya dan menghela nafas sejenak sebelum turun dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar itu. Erny lalu pergi menuju ke dapur, dilihatnya Johan sudah berpakaian lengkap, siap untuk pergi ke kantornya. Johan sedang duduk dimeja makan sambil membaca koran pagi dan menyeruput secangkir kopi hangat.

Erny lalu mendudukkan dirinya dihadapan Johan. Sesaat hawa dingin yang terasa cukup menekan karena mereka berdua saling terdiam tanpa bicara sebelum akhirnya Johan mulai angkat bicara.
“Er, bagaimana keputusan kamu soal pernikahan kami?” tanya Johan langsung ke pokok permasalahan.

Begitu mendengar pertanyaan Johan itu, segera darah Erny kembali naik ke ubun-ubun melihat bagaimana suaminya itu tergila-gila pada Vivi. Erny nyaris mengamuk kembali, namun ia teringat nasihat Marny semalam. Erny pun berusaha menjaga emosinya dan bersikap seolah ia pasrah dengan pernikahan Johan itu. Bagaimanapun agar rencana ini berhasil, upacara pernikahan Vivi dan Johan harus tetap berlangsung.

“Sudahlah Mas, kalau itu memang keinginan Mas Johan, saya sebagai istri hanya bisa ikut saja.” Tutur Erny dengan nada lirih yang dibuat-buat. Johan langsung tersenyum sumringah begitu mendengar perkataan Erny itu. Johan sedikit kebingungan dengan sikap Erny yang berubah drastis 180 derajat dibandingkan kemarin.
“Kamu… kamu yakin, Er?!” tanya Johan keheranan.
“Iya Mas. Kemarin saya sudah bicara dan dinasehati Kak Marny. Memang sebagai istri kita harus membuat suami kita bahagia. Karena saya mau Mas Johan bahagia, saya rela kalau Mas mau memperistri Vivi. Lagipula perkataan Mas Johan kemarin memang benar, Vivi bukan orang asing bagi kita, saya kenal baik dengan Vivi, makanya saya setuju.” Kilah Erny.
“Er, saya benar-benar bahagia, akhirnya kamu mau mengerti juga perasaan saya!” Johan tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya lagi.
“Tapi Mas Johan harus berjanji kalau Mas bisa membagi kasih sayang dengan kami dengan seimbang. Terus, jangan lupakan anak-anak.”
“Iya, pasti! Kamu kan juga istri saya? Bagaimana mungkin saya melupakan kamu?” ujar Johan.

Erny lega, setidaknya Johan dapat masuk perangkap lebih mudah dari yang ia bayangkan. Sekarang ia perlu mengatur agar ia ikut terlibat dalam acara pernikahan Vivi itu.
“Mas Johan, kalau boleh saya juga mau ikut membantu acara pernikahan Mas dengan Vivi.” Pinta Erny.
“Boleh saja. Tapi kenapa kamu juga mau ikut membantu? Sebenarnya kita sudah merencanakan kalau kamu tidak perlu ikut. Si Vivi katanya tidak enak kalau kamu ikut repot, makanya dia mau berusaha sendiri.” Tanya Johan agak penasaran.
“Sudah, tenang saja Mas. Bagaimanapun, Vivi itu teman dekat saya, Mas tahu sendiri kalau saya hampir menganggap Vivi sebagai adik saya sendiri. Tentu saja saya harus ikut membantu.” Dalih Erny.
“Kamu tidak repot nantinya?” tanya Johan. Erny hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Syukurlah! Er, saya benar-benar senang punya istri yang pengertian seperti kamu!” puji Johan.

“Begini, kalau bisa, mungkin kamu bisa membantu Vivi untuk mempersiapkan dirinya. Kamu kan sudah pernah menikah, mungkin kamu bisa mengajari Vivi atau membantunya mempersiapkan diri.”
“Mas bagaimana? Mas tidak mau ikut mempersiapkan Vivi?” tanya Erny.
“Sebenarnya tadinya saya mau, tapi sepertinya tidak bisa. Kebetulan direktur cabang kami, Pak Anton sedang cuti. Saya harus menyelesaikan tugas-tugas sebelum beliau selesai cuti. Makanya untung kamu bisa mengerti.” jelas Johan.
“Lho? Mbak Sasha bagaimana? Bukannya dia bisa membantu?”
“Kebetulan Sasha juga ambil cuti. Saya belum tahu kapan mereka kembali, makanya, kamu bisa membantu kan?” tanya Johan penuh pengharapan.
“Beres, Mas. Saya akan membantu sebisa mungkin!” jawab Erny mantap.
“Bagus! Terima kasih ya, Er! Saya serahkan semua ke kamu!” jawab Johan dengan ceria.
Dalam hatinya, Erny jauh lebih ceria dari Johan; sekarang sebagian besar kendali berada ditangannya. Erny tertawa-tawa dalam hati melihat bagaimana gampangnya rencananya berjalan dan bagaimana semua situasi yang seolah mendukungnya.

Johan pun segera berangkat ke kantor setelah sarapan pagi, tanpa menyadari rencana jahat istrinya terhadap Vivi. Sementara Erny tidak sabar lagi menunggu para ‘sukarelawan’ yang akan dikirim Marny.
Beberapa jam kemudian, pintu rumah Erny diketok dengan keras. Erny segera beranjak keruang tamu untuk membukakan pintu pada tamu yang hendak berkunjung itu. Begitu pintu rumah dibuka, Erny terperangah sedikit melihat 3 orang lelaki berkulit gelap didepan beranda rumahnya. Salah satu lelaki itu tampak kekar dan beringas dengan rambut gondrong seperti preman. Lelaki yang kedua berpostur kurus dengan gigi tonggos dan sebuah tompel di pipinya. Lelaki yang terakhir berpostur gemuk dengan perut yang tambun. Ketiganya langsung mendelik melihat Erny yang membuka pintu.

“Kamu yang namanya Erny?!” tanya lelaki berpostur kekar dengan nada yang keras.
“I… iya!” jawab Erny tergagap melihat ketiga lelaki itu. Erny merasa agak takut melihat penampilan ketiga pria itu.
“Kami dengar dari Bu Marny kalau ada lowongan kerja, benar bu?!” tanya lelaki ketiga yang gemuk itu.
“Iya, benar.” Jawab Erny, ia sebenarnya ingin mempersilahkan ketiga pria ini untuk masuk kedalam rumahnya, namun ia cemas karena bisa saja nanti malah dirinya yang dirampok atau diperkosa ketiga pria beringas ini.

Entah bagaimana, seolah bisa membaca pikiran Marny, lelaki kekar itu langsung angkat bicara.
“Kenapa kita tidak diizinkan masuk? Takut dirampok, Heh?!” sindirnya.
“Oh, iya, iya. Silahkan masuk, bapak-bapak!” ujar Erny penuh keterpaksaan. Tentu saja ia tidak mungkin menolak ketiga pria itu dengan sindiran yang dilontarkan si kekar barusan.
Tanpa dipersilahkan, ketiga pria itu langsung duduk disofa ruang tamu rumah Erny. Erny tetap berusaha untuk menjaga kesabaran dan tampak kalem atas kekurangajaran pria-pria itu.

“Nah, jadi disini kita mau disuruh apa?” tanya lelaki kekar itu tidak sabaran.
“Iya, katanya ada kerjaan yang bagus nih!” imbuh lelaki yang gemuk.

“Begini bapak-bapak…”
“Namaku Iqbal, ini Aziz, dan yang gemuk itu Yono!” ujar pria kekar yang rupanya bernama Iqbal itu dengan keras memperkenalkan diri mereka. Erny langsung dapat mengenali ketiga orang itu dengan singkat lewat perkenalan itu karena perbedaan dan ciri khas ketiga orang itu. Si kekar bernama Iqbal, si tompel bernama Aziz dan si gendut bernama Yono.

“Lalu, kerjaan apa yang mau dilakukan?” tanya Aziz.
“Begini, bapak-bapak. Saya mau menyewa anda sekalian untuk memberi pelajaran pada seseorang.” Papar Erny.
“Oh begitu, siapa orangnya?! Mau diapakan? Dipukul atau dibunuh, heh?!” jawab Iqbal dengan nada bersemangat.

Erny tidak segera merespon reaksi Iqbal, ia hanya membuka sebuah album foto dan mengeluarkan selembar foto Vivi dari album itu dan melemparkannya kehadapan ketiga pria itu.
“Ini orangnya, target anda, namanya Vivianny, panggilannya Vivi.” Ujar Erny.
“Hah?! Cewek?” Iqbal terkejut begitu melihat foto Vivi.
“Wuiih, cakep juga nih cewek! Mukanya mirip artis.” gumam Aziz.
“Badannya juga oke, hehe… sayang kalau dibunuh nih, mendingan dientot aja, pasti enak, hehehe…” celetuk Yono.

“Ya, memang itu yang saya minta pada anda sekalian, Pak Yono.” Tutur Erny. Seketika itu pula, raut wajah ketiga pria itu berubah dari bengis ke senyum yang memuakkan.
“Yang benar, bu?” tanya Yono setengah tidak percaya.
“Ya, untuk ini anda akan saya bayar 4 juta masing-masing.” Jawab Erny.
“Lumayan juga nih.” Gumam Iqbal.
“Wuiih, enaak, udah dapat cewek, dibayarin lagi.” celoteh Aziz
“Silahkan bapak-bapak perlakukan Vivi sesuka anda. Tapi, jangan sampai dia dibunuh. Saya mau dia tetap hidup supaya dia sengsara.”
“Weleh, weleh, kenapa begitu bu? Kalau dibunuh bukannya lebih gampang?” tanya Yono.
“Tidak! Si Vivi ini berniat merebut suami saya, lebih baik kalau dia diperkosa dulu, supaya dia tahu derajatnya! Nantinya dia bakal lebih gampang diatur dirumah ini!” jawab Erny.
“Ooh, gituu… Kalau begitu kapan kami beraksi Bu?” tanya Aziz.
“Bulan depan, rencananya suami saya dan Vivi bakal melangsungkan pernikahan mereka. Saya akan mengatur agar anda sekalian ikut ditugaskan dalam acara pernikahan ini supaya kita bisa lebih gampang menculik si Vivi.” Papar Erny serius.
“Lalu kamu sendiri?” tanya Iqbal dengan raut serius.
“Saya akan ikut menjemput si Vivi bersama anda agar ia tidak curiga.” Jawab Erny.
“Begitu semuanya selesai, uang anda akan saya bayarkan.” Lanjut Erny.

“Wuiih, sip banget! Aku ikut, Bu!” Jawab Aziz tanpa basa-basi.
“Aku juga mau.” Susul Yono.
“Oke, kalau begitu aku ikut juga!” imbuh Iqbal.

“Bagus, kalau begitu saya akan menghubungi anda sekalian untuk rencana selanjutnya. Mohon agar hal ini dirahasiakan dari siapa saja!” pinta Erny.
“Berees, bu! Tenang saja, kita bakal diam kayak patung!” ujar Yono.
“Hehe… pasti Bu! Yang penting saya dapat jatahnya Non Vivi.” Aziz menimpali.
“Ya sudah kalau begitu. Nanti anda akan akan saya kabari, untuk hari ini cukup sekian.” Tutup Erny.

Ketiga orang itu pun pergi keluar dengan raut wajah puas. Erny tidak bisa menyembunyikan kegirangannya lagi, ia pun tertawa puas melihat segalanya berjalan lancar seperti keinginannya. Sekarang ia hanya tinggal mengatur skenario saja agar ia terhindar dari tuduhan.

Hari demi hari pun berlalu, Erny tetap menjaga sikap dan memainkan perannya sebagai seorang istri yang pasrah dan penurut; Sambil terus menghubungi Marny dan menyusun skenario dan rencana mereka sedetil mungkin. Johan yang terlalu fokus pada Vivi sama sekali tidak memperhatikan tingkah Erny apalagi Marny. Rencana kedua kakak-beradik itu pun semakin matang dan siap untuk dilaksanakan.

Vivi, yang awalnya agak canggung dengan sikap Erny yang bersedia menerima kehadirannya, walaupun Vivi sudah berdusta padanya, akhirnya bersedia menerima “kebaikan” hati Erny untuk membantunya dalam melaksanakan pernikahan itu. Erny mempersiapkan hampir semuanya, mulai dari gaun pengantin Vivi, bridal studio dan resepsi acara itu.

Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu tiba. Subuh jam 4 pagi, pintu rumah rumah Johan dan Erny diketuk. Johan membuka pintu dan ia tersenyum lebar saat melihat Vivi datang untuk persiapan pernikahannya.
“Wah, datangnya pagi sekali!” canda Johan.
“Iya. Katanya periasnya datang jam 5 pagi ya, Mas?” tanya Vivi.
“Kalau sudah tahu kok datangnya pagi banget? Nggak sabaran jadi pengantin nih?” kembali Johan menggoda Vivi.
“Soalnya saya mau memastikan kalau persiapannya sudah beres. Kata Kak Erny, semuanya sudah disiapkan ya, Mas?” tanya Vivi.
“Sudah, kamu tenang saja. Semuanya ada di kamar Erny kok. Ayo, ikut!” ujar Johan sambil menggandeng Vivi masuk menuju kamar Erny.

Sesampainya di kamar, Vivi takjub melihat persiapan yang disiapkan oleh Erny. Bagaimana tidak, sehelai gaun pengantin putih yang indah milik Vivi sudah tergantung dengan rapi dan semua aksesoris yang diperlukan telah tertata diatas ranjang Erny. Kosmetik-kosmetik mahal khusus untuk Vivi telah dibelikan oleh Erny dan tersusun diatas sebuah meja rias.
“Wah…” Vivi bergumam kagum melihat persiapan Erny itu.
“Bagaimana? Si Erny sampai lembur lho untuk mempersiapkan ini semua.” Ujar Johan.
“Bagus sekali… Oh iya, Kak Erny sekarang ada dimana, Mas?” tanya Vivi penasaran. Memang, dari tadi ia tidak melihat atau bertemu dengan Erny sejak pertama kali ia menginjakkan kakiknya dirumah itu.
“Wah, Erny kemarin malam tiba-tiba ada urusan keluarga yang mendadak, makanya dia tiba-tiba pulang ke rumah orangtuanya. Katanya dia tidak bisa hadir di acara hari ini”
“Eh? Kenapa saya tidak diberitahu?” tanya Vivi terkejut mendengar berita itu.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting kan kita berdua.”
“Bukan begitu! Saya juga mau Kak Erny ikut dalam acara hari ini. Kak Erny sudah banyak membantu saya dari kecil, jadi mana mungkin saya melupakan jasanya!”
“Aah, jangan dipikirkan, Vi! Yang penting semua persiapannya beres.” Ujar Johan
“Kok Mas Johan begitu sih? Bukannya Kak Erny itu juga istri Mas?” gerutu Vivi.

“Katanya kalau saya mau menerima lamaran Mas Johan, Kak Erny tidak akan diacuhkan?” ujar Vivi mengingatkan Johan akan janjinya saat melamar gadis itu. Memang Vivi bersikeras agar Johan tidak melupakan Erny apabila Vivi menjadi istrinya.

Ya, pada awalnya memang Johan yang tergila-gila pada Vivi dan berulangkali mengutarakan cintanya pada Vivi. Vivi yang sebenarnya tahu diri dan tidak ingin mengkhianati sahabatnya, selalu menolak Johan; walaupun Vivi juga lebih memilih untuk tidak memberitahu Erny akan sikap suaminya itu untuk menjaga keutuhan rumah tangga Erny. Ironisnya, Vivi sama sekali tidak tahu kalau keputusannya untuk diam itu malah menimbulkan kesalahpahaman Erny.
Namun, walaupun Vivi selalu berusaha mengelak, pertahanannya akhirnya terpaksa runtuh saat Johan mengancam akan menceraikan Erny untuk mengejar cinta Vivi apabila Vivi menolak menerima pinangannya. Dengan penuh keterpaksaan, Vivi pun menerima pinangan Johan demi menjaga kelangsungan rumah tangga Erny, dengan syarat bahwa Johan tidak akan meninggalkan Erny ataupun keluarga pertamanya.

“Ya sudah, kalau begitu nanti kita akan mengajak Erny pergi bareng waktu bulan madu, bagaimana?!” bujuk Johan.
“Yang benar, Mas?” wajah Vivi mulai tampak ceria kembali mendengar tawaran calon suaminya itu.
“Iya, iya. Saya janji. Nah, kamu jangan ngambek lagi ya?”
“Ya sudah deh kalau begitu. Nanti boleh kan kalau saya menelepon Kak Erny? Saya harus mengucapkan terima kasih!” tanya Vivi.
“Boleh! Vi, kenapa sih kamu itu segan banget dengan si Erny? Bukannya dia itu cuma kenalanmu saja?” tanya Johan penasaran sambil menggerutu.
“Bukan cuma kenalan Mas…” Ujar Vivi sambil tersenyum.
“Kak Erny itu sudah seperti kakak kandung saya sendiri. Saya masih ingat, waktu saya masih kecil dulu, Kak Erny sering merawat saya karena orangtua saya sering dikantor. Bisa dibilang kalau saya berhutang budi kepadanya. Lagipula, dia sering mengajari saya banyak hal dan menolong saya, makanya saya sangat menghormati Kak Erny.” Tutur Vivi menjelaskan perasaannya.

Johan menggumam sejenak, kalau memang demikian perasaan Vivi terhadap Erny, maka wajar saja apabila Vivi tidak pernah mau menerima pinangannya. Sebelumnya Johan hanya menganggap hubungan Erny dan Vivi hanya sebatas kenalan masa kecil semata. Ia tidak pernah tahu kalau Vivi punya perasaan sedalam itu pada Erny.
“Ooh, jadi itu alasan sebenarnya kenapa kamu menolak saya dari dulu?” tanya Johan sambil tersenyum.
“Hmm, bisa dibilang begitu sih…” gumam Vivi.
“Eh?” Vivi terkejut saat tiba-tiba Johan memeluknya dari belakang.
“Ya, ya, Vivi memang anak yang baik ya?” goda Johan sambil mengusap-usap kepala Vivi. Dibelainya pergelangan tangan Vivi yang tampak lebih putih, mulus dan wangi berkat lulur yang dipakaikan pada tubuh Vivi sebelum ia datang ke rumah Johan.
“Mas Johan, sabar dulu dong. Resepsinya kan belum mulai?” ujar Vivi dengan wajah memerah.
“Ya sudah deh, Sayang! Aku tunggu ya nanti?” tanya Johan. Vivi mengangguk kecil mengiyakan permintaan Johan itu.

“Eh, Kak Vivi? Kok sudah disini?” tiba-tiba terdengar suara anak kecil dari belakang. Rupanya Joanna terbangun dari tidurnya. Johan pun segera melepas pelukannya pada Vivi.
“Hai, Joanna.” Sapa Vivi sambil tersenyum ramah.
“Joan, kok panggilnya begitu? Bukan “Kak Vivi” lagi, tapi “Mami Vivi” tahu!” tegur Johan.
“Oh, iya. Maaf ya Kak… eh! Mami Vivi!” ujar Joanna salah tingkah.
“Hihihi… tidak apa-apa kok, Joanna. Tidak usah buru-buru, panggil saja sesuka Joanna, ya?” ujar Vivi sambil tertawa kecil.
“I… iya… Mami mau menikah hari ini kan? Boleh nggak kalau Joan melihat Mami waktu pakai gaun?” tanya Joanna penasaran.
“Boleh dong. Nah, sekarang Joanna tidur dulu ya, kan masih pagi? Joanna harus istirahat yang cukup. Nanti Mami bangunkan kalau sudah selesai ya?” bujuk Vivi.
“Iya!” ujar Joanna sambil mengangguk senang. Vivi segera menuntun Joanna kembali menuju kamarnya.
Setelah berhasil menidurkan Joanna, Vivi pun kembali pergi ke kamar Erny.
“Joanna sudah tidur?” tanya Johan.
“Sudah.” Jawab Vivi ceria.
“Baguslah. Oh iya, kamu harus mulai siap-siap, sebentar lagi penata riasnya datang.” ujar Johan sambil berlalu keluar dari kamar Erny untuk mempersiapkan diri.
“Nanti Mas Johan langsung berangkat ke tempat upacara ya?” tanya Vivi.
“Iya, kalau sudah selesai, nanti kamu langsung naik saja ke mobil pengantin. Supirnya sudah tahu tempatnya.” Jawab Johan.
“Sampai ketemu nanti ya, Sayang? Saya tunggu di altar.” lanjut Johan sambil melambaikan tangannya pada Vivi yang dibalas dengan senyuman Vivi.

“Huff…” Vivi menghela nafas sejenak saat Johan menutup pintu kamar itu. Vivi langsung merebahkan dirinya sejenak diatas ranjang Erny. Sejenak Vivi tampak terhanyut dengan pikirannya, bagaimanapun setelah ini, ia akan tinggal serumah dengan Erny. Vivi nyaris tidak percaya kalau ia sebentar lagi akan menikah dengan Johan, hari-hari itu serasa berlalu begitu cepat. Sikap Erny yang menerimanya dengan lapang sedikit memberatkan hati Vivi; apapun alasannya Vivi masih merasa telah mengkhianati Erny dengan menerima lamaran Johan walaupun sebenarnya itu juga demi kebaikan Erny. Apakah memang pilihannya ini adalah yang terbaik? Itulah pikiran yang terngiang sejenak didalam benak Vivi.

Vivi menoleh kesamping, dilihatnya gaun putih yang indah yang sebentar lagi akan dikenakannya menuju pelaminan. Vivi bangkit dari ranjang itu dan berjalan menuju gaun itu, ia tersenyum sejenak saat mengamati gaun itu. Erny telah memilihkan gaun yang amat sesuai baginya.
Gaun pengantin putih berbahan satin itu tampak anggun dengan model off-shoulder yang akan menampakkan keindahan bahu Vivi. Atasan gaun Vivi tampak sederhana dengan dan dengan taburan kristal-kristal imitasi kecil yang membentuk lekuk garis-garis yang cantik yang seolah terlukis dengan indah diatas kanvas berupa gaun pengantin satin itu. Sementara bordir-bordir halus dengan sulaman renda yang indah tampak menghiasi bagian pinggang dan ujung rok gaun itu, sebuah pita putih besar menutupi zipper dibagian punggung gaun pengantin Vivi.
Vivi mengambil gantungan gaun itu dan menempelkan gaun itu di tubuhnya. Dilihatnya cermin meja rias dimana pantulan bayangannya terpampang dicermin itu. Vivi memutarkan tubuhnya sejenak untuk melihat apakah gaun itu pas di tubuhnya, dan tampak jelas kalau gaun itu benar-benar sesuai untuknya.

Vivi membayangkan kehidupan barunya yang akan dimulai dirumah itu. Walaupun agak canggung, dilain pihak, Vivi merasa amat senang dan bahagia karena ia akan tinggal bersama Erny, ia berharap bahwa dirinya dapat membantu Erny sebisa mungkin dan itulah salah satu sebab mengapa ia mau menerima pinangan Johan selain dari ancaman Johan itu. Bagaimana nanti ia akan tinggal bersama Johan dan Erny dengan status yang sama seperti Erny. Bagaimana dirinya dan Erny akan saling bahu-membahu dalam kegiatan rumah tangga mereka, mulai dari merawat anak, memasak ataupun melayani Johan. Perlahan perasaan galau yang sempat menyelimuti hati Vivi lenyap.

TOK… TOK… tiba-tiba pintu kamar Vivi diketuk. Vivi segera beranjak membuka pintu dan dilihatnya 2 orang wanita muda yang membawa seperangkat alat rias. Dengan ceria, Vivi mempersilahkan mereka untuk masuk kedalam kamar Erny.

Selama sekitar 1 jam, Vivi dirias oleh kedua penata riasnya itu. Setelah selesai, Vivi tampak kagum dengan penampilannya sebagai seorang pengantin wanita. Vivi mengenakan gaun pengantinnya yang dilengkapi dengan aksesoris-aksesoris tambahan seperti sebuah petticoat untuk menyangga rok gaun Vivi, sebuah mahkota keemasan yang menghiasi kepala Vivi dan sepasang sarung tangan putih sutra yang menyelimuti jari-jari Vivi hingga ke lengan. Rambut hitam panjang Vivi disanggul dan sebuah slayer putih bermotif bunga-bunga diselipkan pada sanggul rambut Vivi.
Wajah Vivi yang dirias tampak amat mempesona. Alis mata Vivi ditebalkan sementara bulu matanya dilentikkan. Dengan sapuan ringan eye-shadow yang tampak berkilau, mata Vivi tampak berseri. Riasan bedak yang tipis dan olesan lipstik merah muda kian menekankan kecantikan alami Vivi.

TOK… TOK… kembali pintu kamar itu diketuk.
“Mamii, ada om gendut yang naik mobil. Katanya mau jemput mami!” terdengar seruan Joanna dari balik pintu. “Oh, itu pasti mobil pengantinnya!” pikir Vivi.
“Iya, Joanna! Sebentar ya!” jawab Vivi sambil merapikan penampilannya terakhir kali sebelum berangkat. Setelah memastikan semuanya telah beres, Vivi segera beranjak keluar dari kamarnya; Vivi berpapasan dengan Joanna yang menunggunya. Joanna pun tampak terpana dengan penampilan Vivi.

“Waah, Mami cantik sekali!” puji Joanna.
“Terima kasih, Joanna.”balas Vivi sambil tersenyum. Vivi membungkuk sejenak, mengangkat slayer yang menutupi wajahnya dan melayangkan ciuman sayang pada pipi Joanna.
“Nanti kita ngobrol lagi ya? Sekarang Mami pergi dulu, sudah dijemput nih!” ujar Vivi. Joanna mengangguk senang mengiyakan. Vivi segera berlalu menuju mobil pengantinnya. Kali ini, ia bertemu dengan supir mobil itu yang tak lain adalah Yono.

“Wah, Neng Vivi ya? Cantik sekali, hehehe…” puji Yono sambil tertawa cengengesan.
“Terima kasih, Pak.” Jawab Vivi. Sebenarnya Vivi merasa agak jijik dan resah melihat Yono, apalagi dengan raut wajah dan sorot mata Yono yang tampak seolah hendak menelanjangi tubuh Vivi, namun Vivi tetap berusaha ramah sebisa mungkin dan menghilangkan firasat buruknya.

“Ayo, ayo Neng, silakan masuk!” Yono segera membuka pintu mobil itu dan mempersilahkan Vivi untuk masuk. Vivi mengangkat rok gaunnya dengan dibantu oleh kedua periasnya. Pintu mobil itu pun ditutup oleh Yono dan melaju membawa Vivi bersamanya.

“Neng Vivi, umurnya sekarang berapa?” tanya Yono sambil mengemudikan mobilnya.
“23, Pak…” jawab Vivi.
“Wuiih, masih muda tuh neng! Ngapain buru-buru nikah? Mendingan cari jodoh lain saja dulu, pasti banyak cowok yang mau!” ujar Yono.
“Oh ya?”
“Iya laah, saya mau kok, kalau punya istri secantik Neng Vivi, hehehe…” ujar Yono. Vivi merasa agak risih mendengar perkataan itu, sekali lagi Vivi berusaha menghilangkan rasa tidak senangnya pada Yono dengan tersenyum kecil. Ia berusaha menganggap bahwa Yono hanya bercanda semata.
Vivi pun berusaha mengalihkan perhatiannya dengan melihat pemandangan diluar dan tidak begitu menghiraukan perkataan Yono. Pemandangan jalan perumahan itu segera berganti menjadi pemandangan jalan tol, sebelum akhirnya memasuki jalan-jalan kecil dalam sebuah kompleks. Sinar matahari masih belum begitu terasa karena saat itu waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar