Daftar isi

Sabtu, 07 Januari 2012

Kisah Perbudakan Ratih - 4

UJI KELAYAKAN

Sementara itu di rumah, Surya sudah gelisah menanti kepulangan istrinya.

"Sial! Mengapa mereka belum muncul?" pikirnya bertanya-tanya.
Terbersit kekhawatiran bahwa Ratih mengingkari kesepakatan yang telah mereka buat, namun segera ditepisnya.
"Tidak mungkin! Dia pasti kembali! Mungkin sebentar lagi..," pikirannya mengembara menyusun skenario.
"Hmm.." Surya tersenyum sambil mulai mengumpulkan gulungan tali, rantai, pemukul nyamuk, dan rantai anjing di tengah ruangan tamu.
"Lihat saja nanti.., kamu pasti akan sangat menderita!" pikirnya dengan penuh rasa kemenangan.
"Dia tentu tak pernah menyangka apa yang akan diterimanya!"

Tiba-tiba lamunannya buyar. Terdengar suara mobil memasuki halaman. Bergegas dia mendekati jendela dan mengarahkan pandangan ke halaman. Wajahnya menyeringai tatkala mengetahui betapa yang dinantikannya telah tiba. Diawasinya terus mobil itu hingga berhenti. Terlihat Ratih keluar dari balik kemudi, berputar ke pintu sebelah, lalu menuntun turun seorang wanita yang memakai pembalut mata. Dibimbingnya wanita itu menuju ke arah pintu, dan.., kini kedua wanita itu hadir di hadapan Surya.

"Ini, Mas.." Ratih menyapa suaminya.
"Hmm.." dengus Surya dingin, lalu melanjutkan, "Tutup pintunya, buka penutup matanya!"
Perintah dilaksanakan. Dengan tegas Surya mengarahkan telunjuknya ke arah lantai di depan kaki Ratih. Wanita itu mengerti dan segera menjatuhkan diri bersimpuh di tempat yang ditunjuk itu. Lisa mengerutkan kening, heran atas suasana yang dihadapinya.
"Baguuss..!" puji Surya, "Kamu cepat belajar untuk mengerti posisimu."
Pria itu menyeringai penuh kepuasan. Hening beberapa saat.

"Namanya Lisa, 23 tahun. Hmm.., saya harap Mas suka." katanya menjelaskan.
Surya mengamati gadis itu sambil mengangguk-angguk. "Cantik juga!" pikirnya. Pandangannya sempat terhenti beberapa saat pada kedua gundukan bukit yang mendesak di balik T-Shirt-nya. Wanita yang bernama Lisa ini memang tampak cantik. Kulitnya halus dan agak putih. Tinggi, langsing, dan montok.

Surya memerintahkan dia maju mendekat, lalu dia memutar jari telunjuknya membentuk lingkaran, yang segera dituruti Lisa dengan bergerak berputar, bagaikan peragawati yang sedang memamerkan busananya. Surya kembali mengangguk-angguk dan tersenyum puas.
"Hmm.., baiklah! Kita coba pilihanmu ini!" ujarnya sambil melangkah ke arah sudut dan lalu duduk berayun-ayun di kursi malas.

"Jadi nama kamu Lisa, ya..?" tanyanya ramah. Wanita itu tersenyum dan mengangguk pelan.
"Lisa.., hmm.., saya Surya. Sudah tahu tujuanmu ke sini?" pancingnya.
Lisa tampak agak ragu sejenak. "Mmm.., tentunya untuk menghiburmu. Tapi.., hmm.., bagaimana..? Lagi pula, kan ada dia." jawabnya ragu sambil mengarahkan dagunya ke arah Ratih.
"Baiklah, saya jelaskan." jawab Surya.
"Dia memang harus ada di sini?"
Lisa tampak tertegun, kemudian mengalihkan pandangannya kembali kepada Surya.
Surya pun melanjutkan, "Begitu juga kamu. Kita bertiga akan melakukan sebuah permainan!"
Lisa tampak semakin tidak mengerti.

"Dia itu, Ratih, wanita yang telah kukawini selama sepuluh tahun. Namun kini dia tak lebih hanya sebagai budakku, setelah penyelewengan yang dilakukannya!" lanjutnya dengan emosional. "Pengkhianatan harus mendapat ganjaran yang setimpal, bukan? Tapi aku perlu bantuan seorang wanita, sebab tentunya hanya wanitalah yang paling paham bagaimana cara menyakiti wanita lainnya. Untuk itu dia kupersilahkan memilihkannya bagiku. Dan ternyata..? Dia telah memilihmu! Hmm.., jadi bagaimana.., apakah kamu bersedia?"
"Mas..!" protes Ratih terperanjat, namun segera dihardik oleh Surya.
"Diam! Kamu tidak punya hak bersuara, mengerti?"
Ratih mengangguk lemah dan kembali menundukkan wajahnya. Lisa kembali memandangi wanita yang membawanya tadi itu.

"Bersedia tidak anda membantuku?" tanya Surya kembali. "Saya sudah menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Lihat itu?" tunjuknya pada perlengkapan yang telah terkumpul di tengah ruangan tadi. "Semuanya sudah tersedia! Hmm.., Bagaimana?"
Tampaknya Lisa mulai mengerti, namun keraguan masih terlihat di wajahnya.
"Tidak usah takut, ini semua sudah atas kesediaannya, sebagai bukti penyesalannya padaku!" ucap Surya. "Benar begitu, Ratih?" tanyanya sambil beranjak berdiri.
"I-i-iya, Mas." jawabnya terbata-bata.
"Tuan! Mulai sekarang kamu hanya boleh memanggilku Tu-an, mengerti?" potong Surya sambil memberikan tekanan pada kata "tuan".
"Iya, Ma.., eh, Tuan!"
"Hmm.., bagus begitu! Nah, Lisa.., bagaimana, mau tidak memiliki budak? Ha, ha, ha.."

"Mas.., aku memang salah, untuk itu aku rela menjadi budakmu. Kamu boleh berbuat apa saja padaku, tapi jangan jadikan aku juga menjadi budak orang lain. Huu, huu.." tangis Ratih mengiringi protesnya.
Dia mulai paham tujuan Surya menyuruhnya mencarikan wanita lain, ternyata untuk turut serta menyiksanya. Dia tidak terima dihina oleh orang lain. Sedangkan oleh suaminya saja, dia sudah memaksakan diri menekan penolakan batinnya, dan bisa, walaupun pahit. Namun oleh orang lain? Ratih berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuat murka suaminya. Lisa memandanginya sejenak, lalu beralih ke Surya, dan kembali lagi memandang Ratih.

"Sial! Maass..? Tuan! Kurang ajar! Berani kamu membantah kemauanku, Budak?" bentak Surya berapi-api sambil melangkah mendekati Ratih.
Tangannya sudah diangkat ke udara, siap untuk diayunkan. Sementara itu Lisa bergerak menyingkir menjauhi mereka berdua.
"Ampunn Tuan! Ampuunn..!" Ratih menjatuhkan wajahnya ke lantai sambil memohon ampun.
Langkah Surya terhenti. Sambil mendengus, dihempaskannya tangannya ke samping tubuhnya. Hening sesaat. Surya mengepalkan tangan menahan kekesalan hatinya.
"Huh!" dia menarik napas panjang, sebelum akhirnya melanjutkan, "Baiklah.., ini untuk yang terakhir!"

Ruangan kembali hening. Perlahan Lisa kembali ke tempatnya semula.
Kemudian, "He budak," lanjut Surya, "Sepertinya wanita pilihanmu ini masih ragu untuk menerimamu sebagai budak. Lebih baik kau bujuk dia agar bersedia menjadi NYONYA-mu. Atau kau memang sudah tidak berguna? Kalau begitu lebih baik kau kujual saja pada seorang germo!"
Ratih sungguh ketakutan. "Jangan Mas, Tuan, jangan Tuan, jangan jual saya.., huu, huu, huu." dia menangis tersedu-sedu sambil membentur-benturkan kepalanya ke lantai.

"Nasibmu tergantung pada wanita itu! Kalau dia bersedia menerimamu sebagai budaknya, kau tetap di sini, tapi kalau tidak? Terpaksa..,"
"Huu.., am-pun.., Lis, tolong aku, Lis! Tolong.., terima aku jadi budakmu.. Aku janji akan melakukan apa saja perintahmu. Benar Liss.., janjii..!"
Ratih maju memeluk kaki Lisa. Surya tersenyum menyaksikan adegan tersebut. Inilah yang ditunggu-tunggunya. Kebenciannya yang mendalam mulai terobati. Dia yakin betapa Ratih sangat tersiksa melakukannya, dan itulah yang memuaskan dendamnya.

"Apa-apaan sih..? Huh!" dengus Lisa sambil menarik kakinya, namun Ratih tetap berusaha mempertahankannya, sehingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan terhuyung hampir jatuh.
Dengan reflek Surya melompat ke arahnya, namun Lisa sudah lebih dahulu jatuh terduduk.
"Aduh! Kurang ajar!" bentaknya penuh marah.
Dia segera bangkit berdiri dan menendangkan kakinya ke arah Ratih. BUK! Sepatu Lisa menghantam bahu Ratih. Ratih menjerit kesakitan. Sambil meringis dia segera beringsut mundur, "Ampun.., aduh, ampunn Lisa..!"

"Nyonya!" bentak Surya mengingatkan.
"Iya.., ampun Nyonya..! Saya tidak sengaja.., ampuunn..!"
"Kamu sudah membuatku jatuh, Lonte sialan! Kamu memang harus dihukum!" Lisa memburu Ratih sambil melayangkan sebuah tamparan, "PAR!" Ratih terjerembab ke lantai.
"Ha.. ha.. ha..! Bagus, baguuss, teruskan..!" Surya memberi semangat pada Lisa yang terus mengayunkan tangannya ke wajah Ratih.
"Berarti kamu sudah setuju, Lis?" teriaknya kesenangan sambil bertepuk tangan, "Kalau begitu langsung dimulai saja, ha.. ha.. ha..! Ayo.., lakukan sesuka hatimu! Ingat, dia sekarang budakmu! Ha, ha, ha..!"

Mendengar itu Lisa malah menghentikan aksinya dan menatap Surya dengan tersenyum.
"Budakku? Hah, hah, hah..! Aku belum memutuskan untuk menerimanya!" sanggahnya. "Setidaknya aku perlu tahu terlebih dahulu manfaatnya bagiku! Boleh aku memeriksa calon budakku ini?"
"Tentu saja!" sambut Surya. "Silakan.., periksa sendiri baik-baik, apakah dia cukup layak kau pelihara!"

Lisa mengarahkan pandangannya kepada Ratih, "Copot pakaianmu! Semuanya, cepat! Aku ingin lihat apakah kau cukup berharga untuk menjadi budakku!"
Ratih membelalakkan mata tidak percaya, dia harus telanjang di hadapan seorang pelacur. Tapi dia segera teringat akan ancaman Surya yang akan menjualnya kepada germo jika dia menolak perintah pelacur itu. Kalau sampai itu terjadi, maka dia pun akan segera menyandang predikat yang sama, bahkan mungkin lebih hina, menjadi pelacur jalanan.

Terbayang kemungkinan betapa dia bisa saja diperkosa oleh para berandalan. Belum lagi kalau rekaman pengakuannya disebarkan. Dia tidak akan kuat menghadapinya. Baru membayangkan saja sudah membuat tubuhnya menggigil ketakutan. Maka sambil menggigit bibir menahan tangis, dia bangkit untuk melaksanakannya. Dia tidak kuasa memandang siapa pun di ruangan itu. Sambil tertunduk layu, digerakkannya kedua tangannya ke belakang punggung, menarik resleting, dan kemudian mengangkat gaun yang dikenakannya melewati kepala.

Gemuruh tawa mengiringi setiap gerakannya. Semua mata di ruangan itu mengamatinya dengan seksama. Mereka menyeringai menyaksikan sepasang gunung kembar yang terbungkus dengan BH hitam yang berhiaskan renda dan kilauan berlian itu. Mata Lisa membelalak ketika menatap tulisan pada badan Ratih.
"Oh, hmm.." dia tersenyum, "Memang benar, kamu cocok sekali jadi lonte, ha, ha, ha.."

Ratih menguatkan diri menahan cemoohan itu. Dia melanjutkan dengan roknya, dan tawa Lisa meledak ketika melihat celana dalam yang dikenakannya.
"Ha, ha, ha.., punya siapa, tuh..?"
Surya pun ikut tertawa, "Ha, ha, ha.., punyaku! Yang sudah bekas pakai, lagi."
Lisa semakin cekikikan mendengar jawaban Surya itu.

Sementara Ratih berdiri mematung di tempatnya menerima cemoohan mereka dengan pasrah. Gaun dan rok yang tadi dikenakan sekarang berceceran di lantai di dekat kakinya. Namun ternyata itu belum cukup.
Setelah reda dari tawanya, Lisa kembali membentaknya, "Lho, mengapa berhenti? Teruskan! Semuanya!"
Tubuh Ratih bergetar keras. Pergolakan di hatinya semakin dahsyat. Menyadari tidak punya pilihan, dia pun melaksakannya. Kini seluruh permukaan kulitnya tampak dengan jelas.

"Ck.. ck.. ck..! Wah ada lagi, apa tuh..? Ooohh.., jadi kamu lonte milik Surya, ya..?" decak Lisa mencemooh.
Tersadar akan ketelanjangannya, Ratih segera menelungkupkan kedua telapak tangannya, satu ke dada, dan satu ke vagina. Namun gerakannya terhenti oleh bentakan Lisa, "Eh, eh, eh.. jangan! Biarkan semuanya terbuka. Kau kan tahu, aku ingin memeriksamu? Jadi jangan coba-coba menutupi apa pun, mengerti!"
Ratih mengangguk pelan. Tanpa disadarinya air matanya mulai meleleh membentuk anak sungai di kedua pipinya. Namun mereka tidak memperdulikan hal itu. Lisa bergerak maju mendekati Ratih.

"Buka!" bentak Lisa sambil mengarahkan tangannya ke arah selangkangannya.
Ratih menuruti dengan merentangkan kedua kakinya. Lisa terus menepuk paha dalam Ratih sehingga dia terpaksa terus merenggangkan kakinya, hingga pada posisi mengangkang lebar. Ratih tidak kuasa lagi membendung rasa terhinanya. Dia sadar betapa kini sedang memamerkan organ kewanitaannya yang paling rahasia. Lisa mengelus-elus daerah di sekitar bibir vagina, kemudian memasukkan beberapa jari ke dalamnya, mencoba menyodok-nyodok gua itu. Pinggul Ratih terdorong ke belakang setiap kali Lisa menyodokkan jemarinya, namun selalu kembali maju tertarik oleh rengutan Lisa pada bibir vaginanya.

Lisa menganggukkan kepalanya beberapa kali, kemudian melepaskan tangannya untuk berganti meremas payudara Ratih sebelah kiri. Diremas-remasnya beberapa saat, kemudian ditariknya puting susu Ratih. Ratih melenguh kesakitan, namun seringai Lisa malah makin lebar. Dia memelintir dan memencet-mencet puting itu seakan sedang memeriksa kekenyalannya. Selesai dengan bagian kiri, dia melanjutkan ke sebelah kanan. Semua itu dilakukan Lisa sambil sesekali menatap wajah Ratih, mengamati ekspresinya.

Setelah dianggap cukup, didorongnya bahu kiri Ratih, sehingga kini berputar membelakanginya. Tangan kirinya mendorong punggung Ratih. Kini wanita itu dalam posisi menungging, dan Lisa kembali melakukan pemeriksaan pada gundukan pinggul serta celah di antara keduanya. Setelah merasa cukup dengan pemeriksaannya, Lisa menyuruh ratih untuk tegak dan berputar kembali menghadapnya. Kini sesuai dengan perintah Lisa, Ratih berdiri menghadap Lisa dengan kaki terkangkang lebar. Kedua tangannya berada di balik punggung, sehingga kedua payudara Ratih tampak kian membusung, bagaikan menantang siapa pun untuk menjamahnya.

"Bagaimana.., cocok..?" tanya Surya melihat Lisa telah mengakhiri pemeriksaannya.
"Hmm.., lumayan..! Dan saya mendapatkan satu juta setelah ini selesai..?"
"Satu juta? Oh, tentu itu harga yang ditawarkannya padamu." ulang Surya manggut-manggut mengerti.
"Hmm.., oke, satu juta untuk malam ini. Anggap ini sebagai percobaan. Nanti, kalau ternyata cocok, bisa kita bicarakan lagi untuk masa-masa selanjutnya, bagaimana?"

Kepala Ratih kian terkulai layu mendengar kata-kata Surya. Dia betul-betul merasa terhina. Suaminya sedang melakukan transaksi dengan sorang pelacur untuk bersedia menerimanya sebagai budak. Dia merasa dipersamakan dengan kambing yang sedang diperdagangkan di pasar hewan. Namun apa daya? Dirinya hanya bisa pasrah.

Lisa menyimak dengan penuh perhatian. Dahinya tampak berkerut-kerut memikirkan tawaran itu.
"Jadi ada kemungkinan bahwa ini bisa berlanjut terus?"
"Ya.., kalau ternyata kita bisa menikmatinya."
Lisa mengamati Surya dan Ratih bergantian. Surya menunggu dengan tidak sabar, dan akhirnya, "Hmm.., mm.., oke! Dibayar untuk menghukum budak yang nakal kedengarannya menyenangkan juga." sahut Lisa sambil tersenyum.
"Nah..! Bagus itu! Jadi kita sudah sepakat, oke?" tanya surya memastikan.
"Oke!" angguk Lisa mengiyakan.
"PLOK! PLOK! PLOK!" Surya bertepuk tangan.

Namun tiba-tiba Lisa bertanya dengan serius, "Tapi aku belum pernah menyiksa, apalagi memelihara budak."
"Ahh.., tenang saja, nanti juga akan terbiasa. Kalau perlu akan saya tunjukkan foto-foto tentang itu dari internet."
Kemudian Surya mengarahkan pandangan tajam ke arah Ratih.
"Budak, kamu harus berterima kasih karena Nyonya Lisa telah bersedia menerimamu. Cepat, ucapkan terima kasih kepada Nyonyamu!"

Ratih tidak punya pilihan lain. Dia segera menjatuhkan diri berlutut, "Terima kasih Nyonya.., terima kasih! Terima kasih!" katanya berulang-ulang sambil mengatupkan kedua telapak tangannya sebagaimana layaknya orang memberikan sembah.
Lisa tersenyum bangga menerima penghormatan dari budaknya. Digapainya Ratih, dan menekan kepalanya ke bawah. Paham dengan maksud Nyonyanya, Ratih menggesek-gesekkan pipinya ke sekitar betis Lisa. Seringai Lisa kian lebar.

"Bagus.., bagus..! Budak baik! Kamu akan setia pada nyonyamu?" tanyanya sambil mengelus rambut Ratih.
"Benar Nyonya, hamba akan setia melayani Nyonya. Hamba akan melaksanakan perintah Nyonya, apa pun!" janji Ratih menyadari posisinya.
Agaknya kini dia sudah mulai lancar mengucapkan kata Nyonya.
"Baguuss..! Nah, sekarang mari kita lihat beberapa foto yang mungkin akan dapat memberimu ide." ajak Surya kepada Lisa.
"Dan kamu, Budak! Tetap di tempatmu sampai kami butuhkan, mengerti?"
Ratih mengangguk dan duduk bersimpuh di tempatnya, menyaksikan kedua orang itu melangkah ke ruang tengah menuju ke meja komputer.

Bersambung . . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar